A. Latar Belakang Masalah :
Belakang ini banyak lontaran dan kritik terhadap sistem pendidikan
yang pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung
telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik dari pada
bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan siap untuk di
pasarkan sesuai kebutuhan pasar dan lembaga-lembaga kerja maupun intansi siap
pake setelah lulus.
Kritik ini tentu saja beralasan
karena data sensus penduduk memperhatikan kecenderungan yang menarik bahwa
proporsi jumlah tenaga penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata
lebih besar dibandingkan dengan proporsi penganggur dari lulusan yang lebih
rendah[1].
Dengan kata lain persentase jumlah penganggur tenaga sarjana lebih besar
dibandingkan dengan persentase jumlah pengganggur lulusan SMK/SMA atau jenjang pendidikan yang lebih
rendah.
Namun, kritik tersebut juga belum
benar seluruhnya karena cara berfikir yang digunakan dalam memberikan tafsiran terhadap data
empiris tersebut cenderung menyesatkan. Cara berfikir yang sekarang berlaku
seolah-olah hanya memperhatikan pendidikan sebagai satu-satunya variabel yang
menjelaskan masalah pengangguran. Cara berfikir seperti cukup berbahaya, bukan
hanya berakibat pada penyudutan sistem pendidikan, tetapi juga cenderung
menjadikan pengangguran sebagai masalah yang selamanya tidak dapat terpecahkan.
Berdasarkan keadaan tersebut,
penjelasan secara konseptual terhadap masalah-masalah pengangguran tenaga
terdidik yang dewasa ini banyak disoroti oleh masyarakat, sangat diperlukan.
Penjelasan yang bersifat konseptual diharapkan mampu mendudukkan permasalahan
pada proporsi yang sebenarnya, khususnya tentang fungsi dan kedudukan sistem
pendidikan dalam kaitannya dengan masalah proses belajaran yang jelas, dan
tehnik lulusan dan ketenagakerjaan.
Berangkat dari asumsi bahwa
bertambahnya tingkat pengangguran disebabkan karena kegagalan sistem
pendidikan, maka diperlukan adanya pendekatan-pendektan tertentu dalam
pendidikan dengan permasalaan
permasalah masyrakat yang ber ragam dan komplek [2]. konsep Lembaga
pendidikan perlu
dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan yang sehat dan
ter arah dalam sisitem pendidikan, arah anak didik setelah selesai belajar
kemana arah tujuan dan arah yang di inginkan oleh pihak sekolah untuk mengarah
anak didiknya setelah lulus dari bangku sekolah.
Oleh karena itu
lembaga pendidikan benar-benar sudah menyeleaikan konsep arah pasar untuk
lembaga yang di kelola dengan baik dan jelas. Karena pendidikan bukan
semata-mata merupakan upaya menyiapan individu untuk tempat menyesuaikan
dirinya dengan lingkunga, melaikan lebih di arahkan pada upaya pembentukan dan
kesediaan meslestarikan lingkungan dalam jalinan yang selaras. Akan terbentunya
kemnpuan sebagai hasil belajar tersebuta
akan terwujud masyrakat belajar yang manpu mengahadapi perubahan dan
permasalahan dengan sikap terbuka serta kegiatan yang kreatif tampa kehilangan
jati dirinya[3].
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa pertanyaan terkait Manajemen
pemasaran dan jasa dalam
pendidikan, yaitu:
1. Bagaimana konsep pemasaran dalam lembaga pendidikan islam?
2. Mengapa Jaringan and Pasar itu diperlukan dalam
pendidikan?
3. Pendekatan-pendekatan apa saja
yang digunakan untuk mewujudkan pasar and jasa dalam pendidikan?
4. Bagaimana hubungan antara
pendidikan dan Lembaga?
C. Tujuan Penulisan
Berangkat dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk:
1. Mengetahui konsep pemasaran dalam lembaga pendidikan islam?
1. Mengetahui konsep pemasaran dalam lembaga pendidikan islam?
2. Mengetahui Jaringan and Pasar itu diperlukan dalam
pendidikan?
3. Mengetahui Pendekatan-pendekatan
apa saja yang digunakan untuk mewujudkan arah pendidikan
4. Mengetahi hubungan pendidikan dan lebaga untuk
siapa dan bagaimana
II. Pembahasan
- Konsep Manajemen Pemasaran dan Jasa
- Pada mulanya, sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti sekarang, pendidikan dijalnkan secara spontan dan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak petani langsung mempelajri pertanian dengan langsung bekerja di sawah, anak-anak nelayan langsung mempelajari kelautan dan perikanan langsung mengikuti orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan dengan pekerjaannya. Dilihat secara demikian, maka pendidikan pada dasarnya merupakan sesuatu yang kongkret, spontan, dan tidak direncanakan tetapi langsung berhubungan dengan keperluan hidup.
Dengan kata lain, dalam situasi yang
belum mengenal sistem sekolah, sifat pendidikan pada dasarnya sesalu bersifat
linked and matched. Konsep
keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match) antara dunia pendidikan dan dunia
kerja yang dicetuskan mantan Mendiknas Prof. Dr. Wardiman perlu dihidupkan
lagi. Konsep itu bisa menekan jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi yang
dari ke hari makin bertambah.
Selanjutnya Soemarso, Ketua Dewan
Pembina Politeknik dan juga dosen UI mengatakan bahwa konsep Link and Match
antara lembaga pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal. Jadi, ada keterkaitan
antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut Soemarso, dengan adanya
hubungan timbal balik membuat perguruan tinggi dapat menyusun kurikulum sesuai
dengan kebutuhan kerja. Contoh nyata Link and Match dengan program magang.
Perbaikan magang, dimaksudkan agar industri juga mendapatkan manfaat.
Selama ini ada kesan yang
mendapatkan manfaat dari magang adalah perguruan tinggi dan mahasiswa, sedangkan
industri kebagian repotnya. Di
sisi lain, produk dari Perguruan Tinggi menghasilkan sesuatu yang amat berharga
dan bukan hanya sekedar kertas tanpa makna, yaitu produk kepakaran, produk
pemikiran dan kerja laboratorium. Produk-produk ini masih sangat jarang dilirik
oleh industri di Indonesia. Produk kepakaran yang sering dipakai adalah yang
bersifat konsultatif. Tetapi produk hasil laboratorium belum di akomodasi
dengan baik.
Menjalankan Link and Match bukanlah
hal yang sederhana. Karena itu, idealnya, ada tiga komponen yang harus bergerak
simultan untuk menyukseskan program Link and Match yaitu perguruan tinggi,
dunia kerja (perusahaan) dan pemerintah. Dari ketiga komponen tersebut, peran
perguruan tinggi merupakan keharusan dan syarat terpenting. Kreativitas dan
kecerdasan pengelola perguruan tinggi menjadi faktor penentu bagi sukses
tidaknya program tersebut.
Ada beberapa langkah penting yang
harus dilakukan suatu perguruan tinggi untuk menyukseskan program Link and
Match. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Tujuannya
adalah untuk mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia
kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di Indonesia diketahui,
keahlian (kompentensi) yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja adalah
kemampuan komputasi (komputer), berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan
kemampuan akuntansi. Selain itu, perguruan tinggi juga harus mampu memprediksi
dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi
sepuluh tahun ke depan.
Seharusnya perguruan tinggi mulai
menjadikan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah di
kampusnya. Dengan demikian, diharapkan, lulusan perguruan tinggi sudah
mengetahui, minimal secara teori,
tentang kompetensi apa yang dibutuhkan setelah mereka lulus. Meskipun demikian,
perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan seluruh materi kuliahnya dengan
kebutuhan dunia kerja. Sebab, harus ada materi kuliah yang berguna bagi mahasiswa
yang termotivasi untuk
melanjutkan studi ke jenjang strata yang lebih tinggi d.
Langkah penting lainnya, perguruan
tinggi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar
bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus.
Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak
hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
Jika program Link and Match berjalan baik, pemerintah juga diuntungkan dengan berkurangnya beban pengangguran (terdidik). Karena itu, seyogianya pemerintah secara serius menjaga iklim keterkaitan dan mekanisme implementasi ilmu dari perguruan tinggi ke dunia kerja sehingga diharapkan program Link and Match ini berjalan semakin baik dan semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak.
Jika program Link and Match berjalan baik, pemerintah juga diuntungkan dengan berkurangnya beban pengangguran (terdidik). Karena itu, seyogianya pemerintah secara serius menjaga iklim keterkaitan dan mekanisme implementasi ilmu dari perguruan tinggi ke dunia kerja sehingga diharapkan program Link and Match ini berjalan semakin baik dan semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak.
Manfaat yang dapat dipetik dari
pelaksanaan Link and Match sangat besar. Karena itu, diharapkan semua stake
holders dunia pendidikan bersedia membuka mata dan diri dan mulai
bersungguh-sungguh menjalankannya. Perguruan tinggi harus lapang dada menerima
bidang keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah
utama. Perusahaan juga harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi mahasiswa
perguruan tinggi yang ingin magang (bekerja) di perusahaan tersebut. Sedangkan
Pemerintah harus serius dan tidak semata memandang program Link and Match
(keterkaitan dan kesepadanan) sebagai proyek belaka.
Secara tradisional teori
kependidikan menekankan tiga tujuan
instruksional pokok: kognitif, afektif dan psikomotorik. Banyak
orang berpendapat bahwa sisi afektif dari pendidikan adalah yang paling
penting. Seperti ditekankan oleh Paola friere, suatu konsep pendidikan, dimana
otak manusia hanya seperti rekening bank tidak berlaku atau sesuai lagi. Tujuan
yang lebih berkaitan dengan proses menyadarkan orang bahwa kemampuan berfikir
dan menentukan identitasdiri sekarang ini jauh lebih penting. Pendidikan
dan pembelajaran adalah
proses bukan produk akhir. Ivan Illich pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh
mengijinkan pendidikan formal mengganggu proses
belajar terus menerus. Tidak selayaknya orang berhenti
dari proses
belajar sesudah pendidikan formal selesai (Sindhunata, 2000:
130).
- Pendekatan dalam Mewujudkan Manajemene pasar dan Kebutuhan.
Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial merupakan
pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat pada saat ini. Pendekatan
ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pada pemerataan kesempatan
dalam mendapatkan pendidikan (Husaini Usman, 2006: 56). Menurut A.W. Gurugen
pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan
dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan
untuk memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit
dan orang tua secara bebas (Djumberansyah Indar, 1995: 30). Sebagai contoh
penerapan pendekatan ini adalah diterapkannyaa sistem ganda melalui kebijakan
Link and Match.
Menurut Bohar Soeharto perencanaan
sosial adalah proses cara menjelaskan dan memecahkan masalah
yang berhubungan dengan masyarakat atau berhubungan dengan aspek sosial dari
kehidupan individu untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien (Bohar
Soeharto, 1991: 28).
Pendekatan yang dikemukakan Geruge
ini bersifat tradisional dimana penekanan ini didasarkan kepada tujuan untuk
memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada
tempat dan waktu tertentu dalam situasi perekonomian, politik, dan kebudayaan yang
ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor pendidikan harus menyediakan
lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk menampuk seluuruh kelompok
umur yang ingin menerima pendidikan.
Pendekatan sosial dalam perencanaan
pendidikan sebagaimana dimaksud diatas, pernah dituang secara
tepat dalam Robbins Comunitte on Higher Education di Inggris pada tahun 1963
dengan alasan pemilihan pendektan ini bahwa: ”all young person qualified by
ability and attaint ment to pursue a full time course in higher education
should have the opportunity to do so” (Bohar Soeharto, 1991: 28).
Selanjutnya dalam pendekatan ini ada
beberapa kelemahan dalam pendekatan ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan ini mengabaiakan
masalah alokasi dalam skala nasional, dan secara samar tidak mempermasalahkan
besarnya sumber daya pendidikan yang dibutuhkan arena beranggapan bahwa
penggunaan sumberdaya pendidikan yang terbaik adalah untuk segenap rakyat
Indonesia.
2. Pendekatan ini meng`baiakn
kebutuhan ketenagakerjaan (man power planning) yang diperlukan dimasyarakat
sehingga dapat menghasilkan lulusan yang sebenarnya kurang dibutuhkan
masyarakat.
3. Pendekatan ini cenderung hanya
menjawab pemerataan pendidikan saja sehingga kuantitas lebih diutamakan dari
pada kualitanya (Syaefudin Sa’ud, 2006: 236).
2. Pendekatan Ketenagakerjaan
2. Pendekatan Ketenagakerjaan
Pendekatan yang dipakai dalam penyusunan
perencanaan pendidikan suatu negara sangat tergantung kepada
kebijakan pemerintah yang sedang dilaksanakan. Karenanya wajar jikalau timbul
pendekatan yang berbeda-beda antara beberapa negara dan juga terjadi perbedaan
dalampendekatan perencanaan antara
berbagai periode pembangunan dalam satu negara. Dalam kebijakan pemerintah
(sebut saja kebijakan lima tahunan), disana tergambar secara jelas
harapan-harapan yang akan dan harus dipenuhi oleh sektor pendidikan. Dengan
kata lain kebutuhan akan pendidikan yang akan menjadi sasaran dalam perencanaan
selalu dijadikan penuntun atau bisa dikatakan sebagai kebijakan awal
perencanaan.
Di dalam pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegitan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada tahap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari segala tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian.
Di dalam pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegitan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada tahap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari segala tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian.
Dalam keadaan ini kebanyakan negara
mengharapkan supaya pendidikan mempersiapkan dan menghasilkan tenaga kerja yang
terampil untuk pembangunan, baik dalam sektor pertanian, perdagangan, industri
dan sebagainya (Jusuf Enoch, 1992: 90). Untuk itu perencana pendidikan harus
mencoba membuat perkiraan jumlah dan kualitas tenaga kerja dibutuhkan oleh setiap
kegiatan pembangunan nasional.
Dalam hal ini perencana pendidikan
dapat menyakinkan bahwa penyediaan fasilitas dan pengarahan arus murid
benar-benar didasarkan atas perkiraan kebutuhan tenaga kerja tadi. Akan tetapi
metode-metode untuk memperkirakan kebutuhan tenaga kerja perlu ditetapkan
terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan dan kondisi negara yang bersangkutan.
Salah satu metode misalnya bukan hanya sekedar memperhatikan kebutuhan saja
tetapi perlu meneliti berbagai jenis tenaga yang telatih yang diperlukan oleh
negara atas dasar perbandingan atau ratio yang seimbang, misalnya perbandingan
antara insiyur dan teknisi ahli.
Pendidikan ketenagakerjaan ini
sering dipergunakan oleh negara-negara yang sudah berkembang ataupun negara
yang teknologinya sudah maju, dimana setiap waktu diperlukan jenis keahlian
yang baru. Ahli teknologi modern dengan menciptakan teori dan sistem yang baru
dengan sendirinya mendorong teknologi untuk berkembang secara pesat dan hal ini
menyebabkan pula timbulnya kebutuhan akan tenaga ahli dari jenis yang baru untuk
menangani atau mengelolanya.
Negara-negara yang
mempergunakan pendekatan
ketenagakerjaan mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikannya
secara teratur kepada usaha untuk memenuhi tuntutan dunia lapangan kerja dalam
segala bidang. Para ahli ekonomi mengharapkan agar ada keseimbangan antara
penambahan lapangan kerja dengan peningkatan pendapatan nasionl. Penambahan
lapangan kerja akan meningkatkan pendapatan nasional, pendapatan nasional yang
telah ditingkatkan akan memberi peluang untuk memperluas lapangan kerja. Ini
berarti penyerapan tenaga kerja akan lebih banyak.
Perencana pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan/usaha pendidikan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap individu, tentunya seorang lulusan lembaga pendidikan dapat terjun ke masyarakat dengan suatu kemampuan untuk menjadi seorang pekerja yang produktif. Dengan kata lain sistem pendidikannya harus menghasilkan lulusan dari berbagai tingkat dan jenis yang siap pakai.
Perencana pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan/usaha pendidikan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap individu, tentunya seorang lulusan lembaga pendidikan dapat terjun ke masyarakat dengan suatu kemampuan untuk menjadi seorang pekerja yang produktif. Dengan kata lain sistem pendidikannya harus menghasilkan lulusan dari berbagai tingkat dan jenis yang siap pakai.
Dalam pendekatan keperluan akan
tenaga kerja (manpower approach), jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dihitung
dari jumlah pendapatan nasional yang direncanakan atau yang diperhitungkan akan
dicapai. Dengan kata lain, anak didik melalui sistem pendidikan harus disiapkan
menjadi tenaga kerja, dan perencanaan mengenai keperluan akan tenaga kerja
harus diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam perencanaan ekonomi. Jadi,
dal;am merencanakan keprluan tenaga kerja, perkembangan ekonomi dimasa depan
dianggap sebagai variabel yang independen karena dianggap sebagai tujuan atau
target yang ditetapkan secara tersendiri.
Menurut pendekatan ini, perhitungan
kebutuhan tenaga kerja dan perencanaan pendidikan yang ditujukan kearah
pembetukan tenaga kerja dianggap sebagai prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi
yang secara struktural seimbang dan sebagi prasyarat bagi sistem pendidikan
yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja semat-mata dari pertumbuhan
ekonomi di masa depan dianggap relevan bagi alokasi tenaga kerja yang efisien
dan bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang tersedia pada sistem
pendidikan.
Cara pendekatan persoalan pendidikan seperti ini dapatt dikatkan sebagai pendekatan ekonomi uni-dimensional atau pendekatan pendidikan yang ditujuakan kepada pasaran kerja, dimana pembiayaan-pembiayaan pendidikan diperlakukan sebagai pengeluaran konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran investasi (Sindhunata, 2001: 17).
Cara pendekatan persoalan pendidikan seperti ini dapatt dikatkan sebagai pendekatan ekonomi uni-dimensional atau pendekatan pendidikan yang ditujuakan kepada pasaran kerja, dimana pembiayaan-pembiayaan pendidikan diperlakukan sebagai pengeluaran konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran investasi (Sindhunata, 2001: 17).
Dalam teorinya pendekatan ini lebih
mengutamakan keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan akan
kebutuhan tenaga kerja, didalam pendekatan ini juga mempunyai kelemahan, dimana
ada tiga kelemahan yang paling utama, yaitu;
1. Mempunyai peranan yang terbatas dalam perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini mengabaikan keberadaaan sekolah umum karena hanya akan menghasilkan pengangguran saja, pendekatan ini lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
1. Mempunyai peranan yang terbatas dalam perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini mengabaikan keberadaaan sekolah umum karena hanya akan menghasilkan pengangguran saja, pendekatan ini lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
2. Menggunakan klasifikasi rasio
permintaan dan persediaan
3. Tujuan dari pada pendekatan ini
hanyalah untuk memenuhan kebutuhan tenaga kerja, disisi lain tuntutan dunia
kerja berubah ubah sesuai dengan cepatnya perubahan zaman (Husaini Usman, 2006:
59).
Blaug dan Faure menyimpulkan bahwa
masalah pengangguran dikalangan terdidik dapat ditekan dengan memperbaiki
sistem dan perencanaan pendidikan yang baik. Perlu kita cermati sebenarnya
peningkatan pengangguran bukan semata-mata kesalahan dunia pendidikan,
peningkatan pengangguran di karenakan sempitnya lapanfan kerja, sempitnya
lapangan kerja disebabkan pemerintah yang kurang bisa membuka lapangan kerja
yang baru.
Perbaikan sistem dan perencanaan
pdndidikan bukan berarti pendidikan harus melahirkan atau meluluskan lulusan
yang siap pakai. Kalau yang dimaksud dengan siap pakai ialah kemampuan lulusan
yang mengenali dan menguasai permasalahan rutin serta mampu mengaplikasikan
ilmunya; maka bukan pada tempatnya hal itu dibelajarkan pada pendidikan formal
yang ada sekarang ini.
Perencanaan
pendidikan di Indonesia selain menggunkan pendekatan sosial
juga menggunakan pendekatan ketenagakerjaan. Disadarai dengan benar bahwa tanpa
tenaga pembangunan yang ahli, terampil dan sesuai dengan lapangan kerja tidak
mungkin pembangunan nasional dapat berjalan dengan lancar. Namun dalam
kenyataannya masih banyak hambatan-hambatan dalam usaha menyusun perencanaan
pendidikan dengan menggunakan pendekatan ketenagakerjaan ini, khususnya di
negara berkembang seperti Indonesia.
C. Pendidikan dan Ketenagakerjaan
C. Pendidikan dan Ketenagakerjaan
Apakah pendidikan formal merupakan
penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi?. Apakahpengembangan
sumber daya manusia selalu dilakukan melalui pendidikan
formal?. Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah
produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan,
semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human
Capital.
Teori Human Capital menerangkan
bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena
pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.
Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari prodiktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai suatu investasi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk mengukur keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan teknik cost benefit analysis, model pendidikan tenaga kerja dan lain sebagainya.
Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori Human Capital tidak selalu benar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Cummings bahwa di Indonesia ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara maju dan negara berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya memberikan kontribusi kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan formal dibandingkan dengan faktor-faktor luar sekolah.
Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari prodiktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai suatu investasi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk mengukur keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan teknik cost benefit analysis, model pendidikan tenaga kerja dan lain sebagainya.
Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori Human Capital tidak selalu benar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Cummings bahwa di Indonesia ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara maju dan negara berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya memberikan kontribusi kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan formal dibandingkan dengan faktor-faktor luar sekolah.
Teori Human Capital dianggap tidak
berhasil, maka muncullah teori baru sebagai koreksi terhadap teori sebelumya,
yaitu teori kredensialisme. Teori ini mengungkapkan bahwa strukrur masyarakat
lebih ampuh dari pada individu dalam mendorong suatu pertumbuhan dan
perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap sebagai alat untuk
mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial yang lebih
tinggi.Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu
lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas)
yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu: 1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, 2). Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan, 1987).
Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu: 1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, 2). Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan, 1987).
Sistem pendidikan sebagai suatu
sistem pemasok tenaga kerja terdidik lebih banyak diilhami oleh teori Human
Capital. Sistem pendidikan memiliki arti penting dalam menjawab tuntutan
lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja terampil dalam berbagai jenis
pekerjaan. Penyediaan tenaga kerja terdidik tidak hanya harus memenuhi
kebutuhan akan suatu jumlah yang dibutuhkan. Akan tetapi, yang lebih penting
ialah jenis-jenis keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia
industri. Teori Human Capital percaya bahwa pendidikan memiliki anggapan
lapangan kerja yang membutuhkan kecakapan dan keterampilan tersebut juga sudah
tersedia.
Fungsi pendidikan sebagai penghasil tenaga penggerak pembangunan (driving force) cenderung lebih sesuai dengan teori Kredensialisme. Sistem pendidikan harus mampu membuka cakrawala yang lebih luas bagi tenaga yang dihasilkan, khususnya dalam membuka lapangan kerja baru. Pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga yang mampu mengembangkan potensi masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa termasuk cara-cara memasarkannya. Kemampuan ini amat penting dalam rangka memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Dengan demikian, lulusan sistem pendidikan tidak bergantung hanya kepada lapangan kerja yang telah ada yang pada dasarnya sangat terbatas, akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial.
Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan medha yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebttuhan pasar.
Fungsi pendidikan sebagai penghasil tenaga penggerak pembangunan (driving force) cenderung lebih sesuai dengan teori Kredensialisme. Sistem pendidikan harus mampu membuka cakrawala yang lebih luas bagi tenaga yang dihasilkan, khususnya dalam membuka lapangan kerja baru. Pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga yang mampu mengembangkan potensi masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa termasuk cara-cara memasarkannya. Kemampuan ini amat penting dalam rangka memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Dengan demikian, lulusan sistem pendidikan tidak bergantung hanya kepada lapangan kerja yang telah ada yang pada dasarnya sangat terbatas, akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial.
Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan medha yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebttuhan pasar.
Ketidaksesuain tersebut mungkin juga
dapat dianggap sebagi gejala prmintaan (demand phenomina), yaitu
ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan
itu sendiri, tetapi lapangan kerja juga belum memfungsikan sistem
pelatihan kerja secara optimal. Jika ketidaksesiaian anatra
keterampilan kerja dengan kebutuhan dunia industri dianggap sebagai demand
phenomina, sitem pelatihan kerja juga harus merupakan bagian yang integral di
dalam industri atau perusahaan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, dunia industri
akan berfungsi sebagai training ground. Jika industri atau perusahaan sudah
berfungsi sebagai training ground, produktivitas tenaga kerja secara langsung
merupakan kontrolnya. Pelatihan dalam industri atau perusahaan ialah tempat
yang paling tepat untuk dapat menghasilakn tenaga kerja yang siap pakai (ready
trained), sementara sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu
menghasilkan tenaga potensial atau yang memiliki kecakapan dasar yang dapat
dikembangk`n lebih jauh di dunia kerja.
Sekat-sekat yang ada antara
pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja seperti yang kita alami dewasa ini,
setidak-tidaknya secara konseptual tidak terjadi dalam masyarakat industri
modern. Diperlukan program yang terintegrasi antara dunia pendidikan dan
pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia industri (Tilaar, 1999: 178).
Program-program pelatihan tidak hanya dilaksanakan di dalam industri, tetapi
sistem pendidikan sekolah dan luar sekolah harus menyelenggarakan program
pelatihan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Dalam kaitan ini perlu ada
refungsionalisasi SISDIKNAS yang membuka diri terhadap keterlibatan penuh dari
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan sistem yang
seperti itu, bukan berarti akan menghilangkan pengangguran, tentu saja masalah
pengangguran akan selalu ada karena berbagai sebab ekonomis ataupun
non-ekonomis namun masalah pengangguran setidaknya dapat diminimalisir.
Fungsi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik dan terlatih dapat diuji berdasarkan kemampuannya dalam memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang telah ada atau yang diperkirakan tersedia dalam suatu sitem ekonomi. Untuk menguji kemampuan ini diperlukan perbandingan antara persediaan angkatan kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan dengan kebutuhan tenaga kerja dalam lapangan kerja yanga ada menurut kategori tingkat pendidik`n pekerja.
Terjadinya kelebihan persediaan tenaga kerja berpendidikan dasar ini disebabkan oleh masih banyak tersedianya lapangan kerja pada sektor tradisional dan sektor informal pada saat truktur tenaga kerja telah mulai bergeser ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan ini didukung pila oleh kenyataan bahwa kelebihan persediaan tenaga kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan yang menjadi akibatnya pengangguran tenaga terdidik atau lulusan Perguruan Tinggi akan terus bertambah setiap tahun.
Salah satu sebab kesenjangan supply dan demand pendidikan tinggi ialah kesenjangan antara keinginan mahasiswa (dan dorongan orang tua serta persepsi masyarakat) dengan kebutuhan akan tenaga kerja. Mahasiswa lebih menyenangi program studi profesional seperti ahli hukum dan ekonomi dibanding dengan program teknologi maupun pertanian. Gejala ini terjadi juga di negara industri maju dan sangat kuat di negara berkembang. Sebaliknya kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak ialah di bidang industri dan pertanian.
Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan Perguruan Tinggi belum dengan sendirinya meningkatkan produktivitas kerja karena adanya pengangguran sarjana yang semakin meningkat. Data pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: 1). Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kemungkinan terjadinya pengangguran; 2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung terdapat kekurangan tenaga kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung untuk menganggur dan jumlahnya semakin besar; 40. surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung berlipat ganda dari tahun ke tahun.
Fungsi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik dan terlatih dapat diuji berdasarkan kemampuannya dalam memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang telah ada atau yang diperkirakan tersedia dalam suatu sitem ekonomi. Untuk menguji kemampuan ini diperlukan perbandingan antara persediaan angkatan kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan dengan kebutuhan tenaga kerja dalam lapangan kerja yanga ada menurut kategori tingkat pendidik`n pekerja.
Terjadinya kelebihan persediaan tenaga kerja berpendidikan dasar ini disebabkan oleh masih banyak tersedianya lapangan kerja pada sektor tradisional dan sektor informal pada saat truktur tenaga kerja telah mulai bergeser ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan ini didukung pila oleh kenyataan bahwa kelebihan persediaan tenaga kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan yang menjadi akibatnya pengangguran tenaga terdidik atau lulusan Perguruan Tinggi akan terus bertambah setiap tahun.
Salah satu sebab kesenjangan supply dan demand pendidikan tinggi ialah kesenjangan antara keinginan mahasiswa (dan dorongan orang tua serta persepsi masyarakat) dengan kebutuhan akan tenaga kerja. Mahasiswa lebih menyenangi program studi profesional seperti ahli hukum dan ekonomi dibanding dengan program teknologi maupun pertanian. Gejala ini terjadi juga di negara industri maju dan sangat kuat di negara berkembang. Sebaliknya kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak ialah di bidang industri dan pertanian.
Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan Perguruan Tinggi belum dengan sendirinya meningkatkan produktivitas kerja karena adanya pengangguran sarjana yang semakin meningkat. Data pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: 1). Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kemungkinan terjadinya pengangguran; 2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung terdapat kekurangan tenaga kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung untuk menganggur dan jumlahnya semakin besar; 40. surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung berlipat ganda dari tahun ke tahun.
Gambaran mengenai kesenjangan supply
dan demand lulusan pendidikan tinggi kita buka terletak pada angka absolutnya,
karena sebenarnya kita masih kekurangan tenaga lulusan Perguruan Tinggi.
Kekurangan ini masih dipersulit lagi dengan adanya ”mis-match” jenis keahlian
yang diproduksi oleh pendidikan tinggi kita.
Menurut Darlaini Nasution SE ada
tiga faktor mendasar yang menjadi penyebab masih tingginya tingkat pengangguran
di Indonesia. Ketiga faktor tersebut adalah, ketidaksesuaian antara hasil yang
dicapai antara pendidikan dengan lapangan kerja, ketidakseimbangan demand
(permintaan) dan supply (penawaran) dan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) yang dihasilkan masih rend`h. Ia menjelaskan,
lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja umumnya tidak sesuai dengan
tingkat pendidikan atau ketrampilan yang dimiliki.
Umumnya perusahaan atau penyedia
lapangan kerja membutuhkan tenaga yang siap pakai, artinya sesuai dengan
pendidikan dan ketrampilannya, namun dalam kenyataan tidak banyak tenaga kerja
yang siap pakai tersebut. Justru yang banyak adalah tenaga kerja yang tidak sesuai
dengan job yang disediakan.
Kalau kita flasback pada tahun-tahun
yang lalu, Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja pada tahun 1997 jumlah
pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan
kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup pengangguran
terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah
pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya
sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur
mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah
orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Para
penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam
dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini
belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih
melonjak.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap hanya sekitar 1,3 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampauai 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996, karena pada tahun 2007 adalah awal mula terjadinya krisis moneter.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap hanya sekitar 1,3 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampauai 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996, karena pada tahun 2007 adalah awal mula terjadinya krisis moneter.
ketika menginjak tahun 2000, jumlah
pengangguran di tahun 2000
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik.
Dan kini, pada tahun 2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia ditargetkan turun menjadi 8,9 persen dibanding 2007 yang masih 9,7 persen. Untuk mengurangi jumlah pengangguran maupun kemiskinan, pemerintah perlu melakukan berbagai langkah strategis seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan itu, pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun, banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut, terutama karena keterbatasan dana.
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik.
Dan kini, pada tahun 2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia ditargetkan turun menjadi 8,9 persen dibanding 2007 yang masih 9,7 persen. Untuk mengurangi jumlah pengangguran maupun kemiskinan, pemerintah perlu melakukan berbagai langkah strategis seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan itu, pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun, banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut, terutama karena keterbatasan dana.
Pengangguran intelektual di
Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang
mengkhawatirkan. Pada tahun 2003 jumlah pengangguran intelektual diperkirakan
mencapai 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari
persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja
berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja
terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang
sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak
yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu faktor yang mengakibatkan
tingginya angka pengangguran di negara kita adalah terlampau banyak tenaga
kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan
pekerjaan di sektor formal
Mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan
pekerjaan sendiri di
sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.
sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.
Meski ada kecenderungan pengangguran
terdidik semakin meningkat namun upaya perluasan kesempatan pendidikan dari
pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi
pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu
sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita
adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk
profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja.
Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan
pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam
bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara
maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih
besar. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya
mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut
ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun
sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan
yang lebih luas serta cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu masalah.
Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para
siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih
kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam
penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir.
Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni. Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah.
Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni. Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah.
Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun
kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya
efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi
permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai
ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang
muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
Sebagai solusi pengangguran,
berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, misalnya setiap penganggur
diupayakan memiliki pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan artinya produktif dan
remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat
Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi
komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan,
yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan mikro (khusus) dapat dijabarkan
dalam beberapa poin:
Pertama, pengembangan
mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa
setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak
menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap
pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan
kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun
masyarakat luas.
Kepribadian yang matang, dinamis dan
kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan
serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar
di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di
masa-masa mendatang. Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki
berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara
nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab.
Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja
sama dengan lembaga pelatihan yang
kompeten untuk itu.
Kedua, melakukan pengembangan
kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas
dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka
lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan.
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
Keempat, menyederhanakan perizinan
karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik
Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi
masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas
dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan
lapangan kerja baru. Kelima,
mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah
perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang
tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan
kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai bahan baku
pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik
itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk
meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan
menciptakan lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga
antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center
dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan
menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain
sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak
(software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan
sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bagi pemerintah Daerah yang memiliki
lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat
membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke
luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan
(Training Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan
tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu
dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di
Filipina.
Kedelapan, penyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu renrientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal. Pengembangan sistem pendidikan nasional perlu direstrukturisasi. Perestroika shstem pendidikan tinggi meliputi berbagai aspek, antara lain keseimbangan program studi dan peningkatan mutu.
Kedelapan, penyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu renrientasi supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal. Pengembangan sistem pendidikan nasional perlu direstrukturisasi. Perestroika shstem pendidikan tinggi meliputi berbagai aspek, antara lain keseimbangan program studi dan peningkatan mutu.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah
perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI
dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan
produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya.
Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru
sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif.
III. Kesimpulan
1. Konsep pemasaran and Match (keterkaitan dan
kesepadanan) merupakan konsep keterkaitan antara lembaga pendidikan dengan
dunia kerja, atau dengan kata lain Link and Match ini adalah keterkaitan antara
pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Dengan adanya keterkaitan ini maka
pendidikan sebaagi pemasok tenaga kerja dapat mengadakan hubunga-hubungan
dengan dunia usaha/industri.
2. Dengan link dan match ini suatu
lembaga khususnya Perguruan Tinggi bisa mengadakan kerja sama dengan pihak lain
khususnya dengan perusahaan atau industri agar mahasiswa bisa magang di
perusahaan tersebut. Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja.
dengan adanya Link and Match tersebut Perguruan Tinggi dapat mengetahui
kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi
apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Selain itu, Perguruan Tinggi
juga akan dapat memprediksi dan mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang
diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke depan. Dan yang lebih
penting Perguruan Tinfgi harus menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak
perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa
yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti
itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
3. Adapun pendekatan yang digunakan
untuk mewujudkan Link and Match adalah pendekatan social dan pendekatan
ketenagakerjaan. Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas
keperluan masyarakat yang mana pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan
pendidikan dan pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan. pendekatan
sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan
menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk
memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan
orang tua secara bebas.
Pendekatan ketenagakerjaan merupakan
pendekatan yang mengutamakan kepada keterkaitan luusan sistem pendidikan dengan
tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan
yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan
memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik sehingga tingkat kehidupannya dapat
diperbaiki.
4. Pendidikan formal dianggap
sebagai penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, dan titik temu antara
pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi
bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja,
semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat.
Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital yang menerangkan bahwa pendidikan
memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di
dalam meningkatkan produktivitas kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Cammings, Williams. Studi Pendidikan
dan Tenaga Kerja pada Beberapa Industri Besar di Indonesia. Jakarta: Pusat
Penelitian BP3K
Enoch, Jusuf. 1992. Dasar-Dasar
Perencanaan. Jakarta: Bumi Aksara
Hasibuan, Sayuti. 1987. Changing
Manpower Requirements in The Face of Non-Oil Growth, Labor Force Growth and
Fast Tehnological Change. Jakarta: Bappenas
Indar, Djumberansyah. 1995. Perencanaan Pendidikan Strategi dan Implementasinya.
Indar, Djumberansyah. 1995. Perencanaan Pendidikan Strategi dan Implementasinya.
Surabaya: Karya Aditama
Limongan, Andreas. Masalah
Pengangguran di Indonesia. Diakses Tanggal 07 Januari 2008
Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II
Sindhunata (ed). 2000. Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius
Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II
Sindhunata (ed). 2000. Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius
Sindhunata (ed), 2001. Pendidikan
Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta:Kanisius
Soeharto, Bohar. 1991. Perencanaan Sosial Kasus Pendekatan. Bandung: Armico
Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar Bandung: Rosdakarya
Soeharto, Bohar. 1991. Perencanaan Sosial Kasus Pendekatan. Bandung: Armico
Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar Bandung: Rosdakarya
Tilaar, H.A.R. 1999. Manajemen
Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya. Cet IV
Usman, Husaini. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Usman, Husaini. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara