D. Al-Ghazali
1. Biografi Al-Ghazali
Nama
lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, digelar Hujjah
(Acuan) Al-Islam lahir di Thus, bagian kota Khusaran, Iran pada 450 H
(1056 M). Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal
benang (ghazzal) sehinnga dijuluki al-Ghazzali, karena dinisbatkan kepada mata
pencaharian ayahnya, tetapi ayah mempunyai semangat keagamaan yang tinggi
seperti terlihat ada simpatiknya pada ulama, dan mengharapkan anaknya menjadi
ulama yang selalu memberi nasehat pada uamaqt. Sebelum ayahnya wafat, ayahnya
menitipkan anaknya Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad yang pada itu masih kecil,
kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan.
2. Karya-Karya
al-Ghazali
Karya
Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, diantaranya adalah:
· Maqashid-Al-Falasifah (Tujuan-tujuan Para
Filsuf), sebagai karangannya yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat.
· Tahafut
Al-Filasafah (Kekacuaan Pikiran Para Filsuf), dikarang sewaktu berada di Bagdad
tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan.
· Mi’yar
Al-‘Ilm (Kriteria-Kriteria / Standar Keilmuan).
· Ihya ‘Ulum
Al-Din (Menghidupkan Kembali Agama-Agama), merupakan karya terbesar
Al-Ghazali.
· Al-Munqidz Min
Al-Dhalal (Penyelamatan dari Kesehatan), merupakan sejarah alam pikiran
Al-Ghazali sendiri dan mereflesikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta
jalan mencapai Tuhan.
· Al-Ma’arif
Al-‘Aqliah (Pengatahuan Yang Rasional).
· Misyakat
Al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), berisi pembahasan tentang akhlak dan
tasawuf.
· Minhaj
Al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan).
· Al-Iqtishad fi
al-‘Itiqad (moderasi dalam akidah).Al-Mustadzhir Qisthasul Mustaqim (Nerca
Yang Lurus).
3. Filsafat al-Ghazali
a. Epistimologi
Sebagaimana
dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz Min Al-Dhalal, ia ingin mencari
kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan
kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. “sekiranya ada
orang yang mengatakan bahwa tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen
bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang memang betul ia
laksanakan, saya akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan
saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah”. Seperti inilah
menurut Al-Ghazali pengetahuan yang sebenarnya.
Pada
mulanya Al-Ghazali beranggapan bahwa pengatahuan itu adalah hal-hal yang dapat
yang ditangkap oleh panca indera. Teatapi, kemudian ternyata baginya bahwa
panca indera juga berdusta. Seumpama: “bayangan (rumah) kelihatannya tidak
bergerak, tetapi berpindah tempat,” atau seperti “bintang-bintang dilangit,
kelihatannya kecil tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu
lebih besar dari bumi”.
Karena
tidak percaya kepada panca indera, Al-Ghazali kemudiaan meletakkan
kepercayaannya kepada akal. Tetapi akal juga tak dapat dipercaya. Sewaktu
bermimpi, demikian menurut Al-Ghazali, orang melihat hal-hal yang kebenarannya
betul-betul, namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu
sebetulnya tidaklah benar atau karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang
menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan
pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal.
Artinya, akal pada dirinya membenarkan pandangan-pandangan yang bertentangan
itu. Seperti yang disebut diatas bahwasannya Al-Ghazali mencari ‘ilm
al-yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Namun,
Al-Ghazali tidak konsekuen dalam menguji kedua sumber pengetahuan itu. Ketika
menguji pengetahuan inderawi, ia menggunakan argumentasi faktual atas
kelemahannya. Tetapi, ketika membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih
tinggi dari akal, ia menggunakan kesimpulan hipotesis (fardhi) saja.
Ketika itu, ia tidak berhasil membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih
tinggi daripada akal secara faktual. Akhirnya Al-Ghazali mengalami puncak
kesangsian, karena ia tidak menemukan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya.
Tetapi dua bulan kemudian, dengan cara tiba-tiba tuhan memberikan nur- yang
disebut juga oleh Al-Ghazali sebagai kunci ma’rifat- ke dalam
hatinya, sehingga ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran
pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis. Dengan
demikian, bagi Al-Ghazali bahwa al-dzawaq (intuisi) lebih
tinggi dan lebih dipercaya dari pada akal untuk menangkap pengetahuan tertinggi
tersebut dinamakan juga al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi
berbentuk wahyu dan ada manusia bisaa berbentuk ilham.
Pengetahuan
yang bersifat rabbaniyah (ladunniyah) adalah tingkat tertinggi
pengetahuan. Pengetahuan yang membutuhkan ibadah, kezuhudan, mujahadah (mendekatkan
diri kepada AllahSWT), dan olah batin (riyadhah an-nafs). Lapangan
filsafat menurut Al-Ghazali ada enam yaitu: matematika, logika, fisika, politik,
etika, dan metafisika.
Logika
menurut Al-Ghazali, juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Logika berisi
penyelidikan tentang dalil-dali pembuktian, silogisme, syarat-syarat
pembuktian, definisi-definisi, dsb. Bahaya yang ditimbulkan logika adalah
menjadikan logika sebagai pendahuluan dalam persoalan ketahunan (metafisika),
sedangkan sebenarnya tidak demikian.
Al-Ghazali
membagi filsuf kepada tiga golongan, yaitu materialis (dahriyyun),
naturalis (thabi’iyyun), dan theis (ilahiyun). Kelompok
pertama materialis, terdiri dari para filsuf awal, seperti
Emepodokles (490-430 SM) dan Demokritus (460-360 SM), mereka pencipta dan
pengatur dunia, dan yakin bahwa dunia ini telah ada dengan sendirinya sejak
dahulu. Al-Ghazali menganggap mereka tidak beragama.
Kelompok
kedua naturalis,terpesona oleh keajaiban penciptaan dan sadar akan
maksud yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam rencana segala sesuatunya,
mengakui eksistensi suatu pencipta bijaksana tetapi menyangkal kerohanian dan
sifat immateriality jiwa manusia mereka menjelaskan perihal jiwa dalam istilah
naturalis sebagai sautu epifenomena jasad dan yakin bahwa kematiaan jasad
menyebabkan jiwa tak berwujud sama sekali.
Kelompok
ketiga theis, tergolong para filsuf lebih modern, meski mereka
menyerang menyerang kaum materialis dan naturalis Al-Ghazali
berpendapat kaum theis ini masih menyimpan sisa kekafiran dan paham
bi’ah. Sebab itu dia menilai mereka maupun para filsuf muslim yang
mengikutinya sebagai kaum kafir. Menurut pendaatnya diantara
pengukut mereka, Al-Farabi dan Ibn Sina adalah penerus terbaik filsafat
Aristoteles ke dalam dunia islam.
b. Metafisika
Dalam
lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap
Neo-Platonisme islam, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan
logika dan matematika. Untuk itu secara langsung Al-Ghazali mengecam dua tokoh
Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan Aristoteles, guru mereka.
Menurut
Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, para pemikir bebas
tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan islam dan mengabaikan
dasardasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi
pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filsuf tersebut sebanyak dua puluh
persoalan (enam belas dalam bidang metafisika dan empat dalam bidang fisika).
Dalam tujuh belas soal mereka harus dinyatakan sebagai ah-bida’ ,
sedangkan dalam tiga soal lainnya, mereka dinyatakan sebagai kafir, karena
pikiran-pikiran mereka dalam tiga soal teresbut berlawanan sama sekali dengan
pendirian semua kaum muslimn.
Diantara
dua puluh soal persoalan yang dimaksud adalah:
· Alam qadim (tidak
bermula).
· Keabadian (abadiah)
alam, masa, dan gerak.
· Konsep tuhan
sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk citaan-Nya,ungkapan ini
bersifat metaforis.
· Demonstrasi/pembuktian
eksistensi penciptaan alam.
· Penolakan akan
sifat-sifat tuhan.
· Argumen rasional
bahwa tuhan itu satu dan mungkinnya pengandaian dua wajib al-wujud.
· Kemustahilan konsep
genus (jins) kepada Tuhan.
· wujud tuhan dalah
wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi.
· Argumen rasional
tentang sebab dan pencipta alam (hukum tak dapat berubah).
· Argumen rasional
bahwa tuhan bukan tubuh (jism).
· Pengetahuan tuhan
tentang selain diri-Nya, dan tuhan mengetahui species dan secara universal.
· Pembuktian bahwa
tuhan mengetahui diri-Nya sendiri.
· Tuhan tidak
mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum.
· Langit adalah
makhluk hidup dan mematuhi tuhan dengan gerak putarnya.
· Tujuan yang
menggerakkan langit.
· Jiwa-jiwa langit
mengetahui partikular-partikular yang bermula (al-juziyyat al-haditsah).
· Kemustahilan
perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.
· Jiwa manusia adalah
subtansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak
terpateri pada tubuh, daan bukan tubuh.
· Jiwa manusia
setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil
bagi kita membayangakan kehancurannya.
· Penolakan terhadap
kebangkitan jasmani.
Tiga
persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah:
· Alam kekal (qadim)
atau abadi dalam arti tidak berawal.
· Tuhan tidak
mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat) yang
terjadi di dalam.
· Pengingkaran
terhadap kebangkitan jasmani (hasry al-ajsad) di akhirat.
Dalam
persoalan ini, terlepas dari besarnya pengaruh dan jasa Al-Ghazali, setidaknya
ada tiga hal yang patut dicermati, yaitu: Pertama: bahwa ia
sesungguhnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya Al-Farabi dan Ibn
Sina dan tidak menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. sebab
Al-Ghazali tetap mengakui pentingnya logika atau epistimologi dalam penjabaran
ajaran-ajaran agama. Kedua: dalam bukunya Al-Ghazali menilai
Al-Farabi dan Ibn Sina serta filsuf yang lainnya telah kufur karena mengajarkan
tentang keqodiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan tuhan terhadap
hal-hal yang partikular. Ketiga:tentang pembagian filsafat yunani
dalam tiga bagian materalisme (Dahriyun), naturalisme (Thabi’iyyun),
dan theisme (Ilahiyyun) bahwa betul Al-Farabi adalah
Aristoteles tapi ia hanya mengambil dan mengembangkan aspek
logikanya belaka seperti yang kita lihat pada bagian epistimologi burhani.
Al-Ghazali
juga membagi manusia kepada tiga golongan, yaitu: (1) kaum
awam, yang cara berpikirnya sederhan sekali, (2) kaum pilihan (elect)
yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam, dan (3) kaum
penengkar. Sebagai filosof-filosof dan ulama-ulama lain, Al-Ghazali
dalam hal ini, membagi manusia kedalam dua golongan besar, awam dan khawas,
yang daya tangkapnya tidak sama, dan oleh karena itu apa yang dapat diberikan
kepada golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada
kaum awam. Dan sebaliknya pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang
hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acap kali berbeda, dan
berbeda menurut daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa
yang tersurat dan kaum khawas, sebaliknya, membaca apa
yang tersirat.
c. Moral
Ada
tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu:
· Mempelajari akhlak
sekedar sebagai studi murni teoretis, yang berusaha memahami ciri
kesusilaan(morlitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku orang yang
mempelajarinya.
· Mempelajari akhlak
sehingga akan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari.
· Karena akhlak
terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan
kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalampenyelidikan akhlak harus terdapat
kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak
menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri.
Prinsip-prinsip
moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih dari
pada kebodohan. Akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak teologis (ada
tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Suatu derat
baik atau buruk berbagai amal berbada oleh sebab perbedaan dalam hal pengaruh
yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya.
Masalah
kebahagian, menurut Al-Ghazali kebahagian yang menjadi tujuan manusia adalah
kebahagian ukhrawi. Kebahagian ukhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni
berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan tanpa dukacita, pengetahuan tanpa
kebodohan,dan kecukupan (ghina), yang tak membutuhkan apa-apa lagi guna
kepuasan yang sempurna. Kebahagian yang dimaksud adalah kebahagian yang sesuai
Al-qur’an dan Hadits adalah surga.
d. Jiwa
Manusia
diciptakan menurut Al-Ghazali dicitakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari
jiwa dan jasad. Jiwa, menjadi inti hakekat manusia adalah makhluk
spiritual rabbani yang sabgat halus (lathifa rabbaniyah
ruhaniyah). Istilah-istilah yang digunakan Al-Ghazali untuk itu
adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.
Jiwa
bagi Al-Ghazali merupakan suatu zat (jauhur) sehingga ia ada pada
dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan
sebaliknya. Jiwa berada didalam spiritual, sedangkan jasad dialam materi. Jiwa
bagi Al-Ghazali, berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiyah.
Disamping itu jiwa mempunyai kemampuan memahami, sehingga persoalan kenabian,
ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makan
dalam kehidupan manusia.
Mengenai
kekekalan jiwa Al-Ghazali menegaskan bahwa tuhan sesungguhnya dapat
menghancurkan jiwa (al-nafs), tetapi ia tidak melakukannya. Disini Al-Ghazali
berada dipersimpangan pandangan sebagai mutakallimin (kemungkinan
hancurnya jiwa apabiala dikehendaki tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa
mempunyai sifat substanai kekla). Dengan demikin bantahan Al-Ghzali terhadap
filsuf dalam bukunya Tahafut al-Falasafah, bukan ditekankan pada kekalnya jiwa,
yang dibantahnya dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk
memebuktikan jiwa itu. Menurutnya, hanya syara’ yang bisa menjelaskan
persoalan al-ma’ad(kehidupan di akhirat).
Adapun
hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah, setiap jiwa diberi
jasad, sehingga dengan bantuanya iwa bisa mendatapkan bekal bagi hidup kekal.
Semua yang ada pada jasad merupakan “pembantu” jiwa. Meskipun jiwa dan jasad
merupakan wujud yang berbeda tetapi kedunya mempengruhi dan menentukan jalannya
masing-masing. Karena itu, bagi Al-Ghazali setiap perbuatan akan menimbulkan
pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan itu
dilakukan secara sadar.