KATA PENGANTAR
BAB II Pembahasan
BAB IV Penutup
Kesimpulan
Untuk memperjelas dalam memahami yang berjudul Pendidikan Pranatal Dalam Perspektif Islam dan Implikasinya Terhadap Pembentukan Kepribadian Anak, maka perlu kiranya dijelaskan arti dan beberapa istilah pada judul sebagai berikut :
Pendidikan pra natal konsepsi ini adalah
salah satu upaya persiapan pendidikan yang dimulai ketika seseorang memilih
pasangan hidupnya sampai pada saat setelah terjadinya pembuahan dalam rahim
sang ibu. Dalam kaitannya dengan hal ini, Islam telah mengajarkan hal-hal
berikut : Dalam memilih pasangan hidup, Islam mengajarkan agar mengutamakan
pengetahuan agamanya yang sama-sama beragama Islam, dan juga memiliki peran dan
tingkah laku yang baik. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya : “Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu
karena kekayaannya, kecantikannya, keturunannya, dan karena agamanya, kamu
pasti akan hidup bahagia.”[1]
Berdasarkan hadits ini, sangatlah jelas bagaimana
kita harus memilih calon pasangan hidup. Agama dan akhlak merupakan dua hal
yang paling utama. Setelah kedua hal ini barulah faktor-fakto r lain
dipertimbangkan.Mencari rizki dan makanan yang halal. Seperti disebutkan dalam Q.S.
An Nahl :114, yang Artinya : “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah
diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya
kepada-Nya saja menyembah.”[2]
Apa yang kita konsumsi
sehari-hari itu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keturunan, baik
itu fisik maupun mental. Selain itu, menurut disiplin ilmu biologi, makanan
yang baik dan bergizi itu memiliki pengaruh yang besra terhadap pematangan ovum
dan spermatozoa yang kemudian akan menjadi janin yang sehat dan kuat.
BAB I Pendahuluan
Pendidikan
dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari asal terciptanya manusia itu sendiri.
Kata pendidikan dalam bahasa Arabnya adalah tarbiyah (mengembangkan,
menumbuhkan, menyuburkan) berakar satu kata dengan "Rabb" (Tuhan).
Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah sebuah nilai-nilai luhur yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Terpisahnya pendidikan dan
terpilah-pilahnya bagian-bagiannya dalam kehidupan manusia berarti terjadi pula
disintegrasi dalam kehidupan manusia yang konsekwensinya melahirkan
ketidak-harmonisan dalam kehidupannya.
Manusia adalah
pelaksana dari pendidikan. Dalam al-Quran, manusia sebagai makhluk Allah yang
mempunyai dua tugas utama yaitu sebagai Khalifah fi al-Ardh dan
sebagai hamba (‘abid) yang diperintahkan untuk melaksanakan segala
perintahNya dan menjauhi laranganNya dengan bekal dasar yaitu penglihatan,
pendengaran, potensi akal (af-idah) dan dengan ketiga indera tersebut
merupakan sarana dasar manusia dalam menerima pendidikan. walaupun pada awalnya
manusia dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apapun.Sebagaimana dalam al-Quran:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ
أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. an-Nahl: 78).[3]
Menurut
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Tuhfatul Maudūd bi Ahkāmil Maulūd mengatakan: Bahwa orang yang berpendapat tentang janin dalam
kandungan ibu tidak bisa melihat dan tidak mendengar suara itu tidak benar dan
tidak ada dalilnya. Menurut dia, ayat itu menunjukkan bahwa media penglihatan,
pendengaran dan akal itu sudah diciptakan sejak dalam kandungan beserta
kekuatan dasarnya. Dan tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu tanpa fungsi,
namun fungsi itu masih bersifat pasif dan akan berfungsi aktif setelah janin
itu dilahirkan dari rahim ibunya.[4]
Dengan adanya fungsi itu, seharusnya orang tua -khususnya ibu- selalu melakukan
stimulus-stimulus dengan memperlakukan janin dengan baik, perlakuan yang baik
itu diantaranya memberikan pelayanan yang baik dan tepat terhadap anaknya yang
masih dalam kandungan, tidak melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang
menyebabkan dampak negatif baik fisik maupun psikis. Sebagaimana yang telah
diisyaratkan oleh Nabi Muhammad dalam sabdanya,
الشقي من شقى في بطن أمه (رواه مسلم
عن عبدالله ابن مسعود)
Anak yang celaka adalah anak yang telah mendapatkan
kesempitan di masa dalam perut ibunya (HR.
Imam Muslim).[5]
Dalam
Islam bukan hanya pada masa kandungan yang harus diperhatikan, tapi mulai sejak
memilih pasangan, dianjurkan memilih yang baik dan utama. Sebagaimana perintah Nabi
Muhammad dalam sabdanya:
تخيروا لنطفكم، فإن العرق دساس (رواه ابن ماجه عن عائشة)
“Memilihlah kalian semua untuk mani kalian (anak/keturunan)
karena sesungguhnya iriq adalah dassas”, (HR.
Ibnu Majah dari ‘Aisyah).[6]
Dalam kamus bahasa Arab al-Munjid, kata “al-irqu
dassasun”,artinya sesungguhnya akhlak orang tua berpindah kepada
anak-anaknya. Hadits ini menjelaskan bahwa anjuran untuk mencari lahan yang
subur untuk menanam benih (sperma) sehingga anak-anaknya tidak mewarisi sifat
tercela.
Mendidik atau "rabba" dalam
bahasa Arab bukan berarti "mengganti" (tabdiil) dan bukan pula
berarti "merubah" (taghyiir). Melainkan menumbuhkan,
mengembangkan dan menyuburkan, atau lebih tepat "mengkondisikan"
sifat-sifat dasar (fithrah) seorang anak yang ada sejak awal penciptaannya agar
dapat tumbuh subur dan berkembang dengan baik. Jika tidak, maka fithrah yang
ada dalam diri seseorang akan terkontaminasi dengan hal-hal negatif dalam
kehidupan itu sendiri.
Hal negatif
dalam kehidupan inilah yang diistilahkan oleh hadits Nabi dengan "tahwiid" (mengyahudikan)"tanshiir" (menasranikan)
dan "tamjiis" (memajusikan).
Sebagaimana
Hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah dalam kitab
Shohih Muslim, yaitu:
ما مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ
عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ
وَيُمَجِّسَانِهِ... الحديث
Tidak seorangpun dilahirkan kecuali dalam keadaan
suci(memilki sifat-sifat dasar) kemudian kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya yahudi, nashrani dan majusi.(al-Hadits)
Di samping itu,
pendidikan merupakan suatu tujuan dan proses menjaga eksistensi fitrah manusia. Secara
lebih filosofis Muhammad Natsir dalam tulisan “Ideologi Pendidikan Islam”
menyatakan; “yang dinamakan pendidikan, ialah suatu pimpinan jasmani dan ruhani
menuju kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”.[7]
Pendidikan sering dikatakan sebagai
seni pembentukan masa depan. Ini tidak hanya terkait dengan manusia seperti apa
yang diharapkan di masa depan, tetapi juga dengan proses seperti apa yang akan
diberlakukan sejak awal keberadaannya mulai dari kandungan. Baik dalam konteks
peserta didik maupun proses, oleh karenanya pendidikan islam[5] [8]perlu
memperhatikan realitas sekarang untuk menyusun format langkah-langkah yang akan
dilakukan.
Untuk merealisasikan tujuan pendidikan
islam sebagai usaha membentuk dan menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang
berakhlak mulia dan bertaqwa, harus di mulai sejak dini, saat manusia itu
sendiri masih dalam kandungan. Karena saat itulah watak seorang anak dibentuk
melalui stimulus-stimulus edukatif. Pada hakikatnya, anak-anak sebagai generasi
unggul tidak akan berkembang dengan sendirinya. Mereka memerlukan lingkungan
subur yang sengaja diciptakan untuk itu, yang memungkinkan potensi mereka
tumbuh dengan optimal. Orang tua memegang peranan penting menciptakan kondisi
lingkungan tersebut guna memotivasi anak agar dapat lebih siap dalam menghadapi
berbagai tantangan di era globalisasi.
Menurut penelitian Dr. Craig dari
University of Alabama menunjukkan hasil bahwa program stimulasi dini
meningkatkan nilai tes kecerdasan dalam pelajaran utama pada semua anak yang
diteliti masa pra lahir hingga usia 15 tahun. Anak-anak tersebut mencapai
kecerdasan 15 persen hingga 30 persen lebih tinggi. Selain itu, menurut F. Rene
Van de Carr, dkk, bahwa The Prenatal Enrichment diHua Chiew
General Hospital di Bangkok Thailand yang dipimpin Dr. C.
Panthura-amphorn, telah melakukan penelitian bahwa bayi yang diberi stimulasi
pralahir cepat mahir bicara, menirukan suara, menyebut kata pertama, tersenyum
secara spontan, lebih tanggap, dan juga mengembangkan pola sosial lebih baik
saat ia dewasa.[9]
Dalam hal ini, Imam Ali bin Abi Tholib
berrkata kepada puteranya yaitu al-Hasan. “hati anak bagaikan lahan kosong. Apa
yang ditanam di atasnya akan diterima. Maka tanamlah di dalamnya sopan santun
sebelum hatimu menjadi keras dan pikiranmu menjadi rusak”. Selaras dengan teori
tabularasa John Loke yang menyebutkan “bahwa seorang anak bagaikan kertas
putih” dan juga merujuk pada sabda Nabi Muhammad di atas tentang semua anak
yang akan lahir mengacu pada fitrahnya.[10]
Dalam konteks pendidikan anak, peran orang tua sangatlah menentukan karena
orang tua adalah “the fisth education for child”atau “awwalu
tarbiyah fil manzil” dan yang sangat berperan dalam hal ini adalah
ibu. Ayah dan ibu sebagai pihak yang bertanggung jawab harus berusaha keras
menghiasi anaknya dengan sifat-sifat kemuliaan dan akhlak terpuji. Mulai sejak
berada dalam kandungan, perasaan anak muncul dan tercipta secara pasif yang
hanya bisa menerima sebelum akalnya berkembang.
Dalam lingkungan keluarga dewasa ini,
pendidikan prenatal masih sering dianggap hanya sebagai bentuk tradisi yang
turun temurun, menjaga anak dalam kandungan sekedar merupakan kewajiban orang
tua untuk mempunyai anak yang sehat dan lahir dengan sempurna, tidak cacat dan
tidak keguguran. Sehingga pola gerak, tindak dan pola makanan
ibu saat mengandung lebih dijaga dan diperhatikan. Bahkan ada keluarga di
masyarakat yang menganggap itu bukan hanya tradisi tapi juga mitos (sangat
sedikit yang memahami bahwa hal itu ada dasarnya dalam agama), sehingga ada
anggapan bagi keluarga ibu hamil itu, tidak boleh berkata kotor, tidak boleh
menyakiti manusia dan hewan karena akan mempengaruhi kepada janin yang sedang
dikandung.[11]
Di sisi lain, fenomena pendidikan saat
ini, mengalami tantangan berat, dimana banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan, kenakalan remaja, kasus narkoba, pemerkosaan,
“tawuran” antar sekolah, antar kampus, bahkan pembunuhan sering diliput oleh
media cetak dan media informasi yang hasilnya kebanyakan dari mereka adalah golongan
pelajar (peserta didik). Golongan yang selalu melakukan proses belajar,
golongan yang masih didominasi oleh pembentukan karakter pertama kalinya yaitu
masa anak-anak. Siapakah yang salah? Atau apakah yang salah?.
Sebenarnya permasalahan dalam pendidikan
prenatal adalah bukan bagaimana mendidik anak dalam kandungan secara efektif,
tapi bagaimana menjadi orang tua yang efektif. Orang tua harus berusaha
melakukan stimulus dan menjaga sikapnya baik dalam ranah emosional dan
spiritual bukan hanya sekedar tradisi dan mitos. Anak adalah refleksi dari
orang tuanya, anak juga merupakan representasi dari keadaan suatu keluarga.
BAB II Pembahasan
Pendidikan prenatal
merupakan pendidikan sebelum masa melahirkan. Masa ini ditandai dengan tiga
fase, yaitu fase pemilihan jodoh, pernikahan dan kehamilan.
1. Fase
Pemilihan Jodoh
Fase
ini merupakan fase persiapan bagi seseorang yang telah dewasa untuk menghadapi
hidup baru, yaitu berkeluarga. Berkenaan dengan hal ini, syari’at Islam telah
meletakkan kaidah dan hokum bagi masing-masing pelamar dan yang dilamar, yaitu
syarat yang penting dalam pemilihan calon istri dan calon suami.
a. Syarat
pemilihan calon istri
1. Memilih
wanita karena agamanya/wanita shalehah
Hal
ini berdasarkan Sabda Rasulullah SAW, yang artinya “Dunia adalah
perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.”
2. Wanita
yang hidup di lingkungan yang baik.
3. Wanita
yang jauh keturunannya dan jangan memilih yang dekat.
4. Wanita
yang gadis dan subur (dapat melahirkan)
b. Syarat
pemilihan calon suami
Tidak banyak hadits yang menyebutkan tentang
pemilihan calon suami sebagaimana halnya memilih calon istri. Rasulullah SAW
bersabda yang artinya :
“Apabila
kamu sekalian didatangi seseorang yang agama dan akhlaknya kamu ridhai, maka
kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan menjadi
fitnah dimuka bumi ini dan tersebarlah kerusakan .” (HR. Tirmidzi)
Berdasarkan
hadits tersebut, maka jelaslah bahwa hal yang paling penting dalam memilih
calon suami adalah dari agama yang dianutnya dan akhlak yang dimilikinya.
2. Fase
Perkawinan atau Pernikahan
Ada
beberapa aspek yang dijelaskan oleh syari’at Islam yang berhubungan dengan
anjuran pernikahan/perkawinan antara lain :
a. Perkawinan merupakan
Sunnah Rasul
b. Perkawinan untuk ketentraman
kasih sayang
c. Perkawinan untuk
mendapatkan keturunan
d. Perkawinan untuk memelihara pandangan
dan menjaga kemaluan dari kemaksiatan
Setelah
calon dipilih, diadakan peminangan dan selanjutnya dilaksanakan pernikahan
dengan Walimatul al-Ursy nya. Yang menarik dari pernikahan dalam Islam adalah
dibacakannya khutbah nikah sebelum ijab qabul.
Dalam
khutbah nikah, terkandung nilai-nilai pendidikan, antara lain :
1. Peningkatan amal dan iman
2. Pergaulan yang baik antara
suami dengan istri
3. Kerukunan dalam berumah
tangga
4. Memelihara sillaturrahim
5. Mawas diri/berhati-hati
dalam segala tindak dan perilaku
3. Fase
Kehamilan
Salah satu tujuan rumah tangga adalah
untuk mendapatkan seorang anak (keturunan). Karena itu, seorang istri berharap
agar ia dapat melahirkan seorang anak. Untuk memiliki seorang anak dibutukhan
proses selama sembilan bulan mengandung. Prof. DR. Zakiah Daradjat
mengungkapkan bahwa:”Keadaan dan sikap orang tua ketika anak dalam kandungan
mempunyai pengaruh terhadap pembinaan pribadi anak.[12] Oleh
karena itu, Islam menganjurkan pada umatnya untuk memulai pendidikan anak sejak
dalam kandungan dengan cara mendidik ibunya dan menciptakan suasana yang tenang
dan tenteram dalam kehidupan keluarga.
Prof. DR. Baihaqi, AK., telah menyusun materi-materi
pendidikan untuk anak pranatal dengan berlandaskan pada pendidikan Islam,
sebagai berikut :
1. Shalat fardlu lima waktu
2. Shalat-shalat sunah
3. Membaca Al-Qur’an
4. Aqidah/tauhid
5. Ilmu pengetahuan
6. Akhlak mulia
7. Do’a
F. Rene Van De Carr dan Marc
Lehrer, juga telah menyusun program pendidikan pralahir secara umum, yang
meliputi, latihan komunikasi pertama dengan bayi, detak jantung dan irama
gendang, permainan bayi menendang, menentukan posisi bayi, daftar kata-kata
utama, cerita, dan permainan musik.[14] Menurut Sabda Nabi, masa kehamilan memiliki
beberapa tahapan, yaitu :
a. Tahap
Nuthfah
Pada
tahap ini, calon anak masih dalam bentuk cairan sperma dan sel telur. Tahap ini
berlangsung selama 40 hari.
b. Tahap
‘Alaqah
Setelah
berumur 80 hari, cairan tersebut berkembang bagaikan segumpal darah kental dan
bergantung pada dinding rahim ibu.
c. Tahap
Mudghah
Setelah
berumur 120 hari, segumpal darah tadi berkembang menjadi segumpal daging. Pada
masa inilah, calon bayi telah siap menerima hembusan ruh dari Malaikat utusan
Allah.
Ada
tiga faktor yang perlu dibicarakan berkaitan dengan proses pendidikan. Yaitu,
pertama harus diyakini bahwa periode ini berawal dari adanya kehidupan. Hal ini
dinyatakan dengan adanya perkembangan yang berawal dari nuthfah sampai menjadi
mudghah, yang kemudian menjadi seorang bayi.
Kedua,
setelah berbentuk daging (mudghah), Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh
kepadanya. Tamapaknya, ruh inilah yang menjadi tahap awal bergeraknya kehidupan
psikis manusia.
Disisi
lain, perkembanagan psikis manusia juga dipengaruhi oleh kegembiraan ataupun
penderitaan yang dialami oleh sang ibu. Kebahagiaan, kelincahan ataupun
kesedihan, kemurungan yang ditunjukkan oleh sanh ibu ketika mengandung akan
tercermin kepada tingkah laku bayi yang dilahirkan.
Ketiga,
aspek yang paling penting adalah aspek agama. Naluri agama sebenarnya sudah ada
pada setiap individu jauh sebelum kelahirannya didunia nyata.
Dalam
fase kehamilan ini, ada beberapa kewajiban seorang wanita yang sedang
mengandung. Yaitu,
a)
Memakan makanan yang bergizi
b)
Menghindari benturan-benturan
c)
Menjauhi minuman keras, merokok, dan berbagai jenis makanan yang
diharamkan Allah SWT
d)
Menjaga rahim dengan baik
Proses
pendidikan konsepsi ini dilaksanakan secara tidak langsung. Yaitu sebagai
berikut :
1. Seorang
ibu yang telah hamil harus mendo’akan anaknya
2. Ibu harus selalu menjaga
dirinya agar tetap memakan makanan dan minuman yang halal
3. Ikhlas
mendidik anak
4. Memenuhi
kebutuhan istri, Menurut Baihaqi A.K ada beberapa kebutuhan istri yang harus
dipenuhi. Misalnya, kebutuhan untuk diperhatikan, kasih sayang, makanan ekstra,
mengabulkan beberapa kemauan yang aneh, ketenangan, pengharapan, perawatan, dan
keindahan.[15]
5. Taqarrub
kepada Allah melalui ibadah wajib dan sunah
6. Kedua orang tua berakhlak
mulia. Akhlak mulia yang harus menjadi hiasan kedua orang tua antara lain,
kasih sayang, sopa, lembut, pemaaf dan rukun.
Menurut Zakiah Daradjad, proses pendidikan akan lebih
berpengaruh kepada anak apabila diamalkan langsung oleh orang tuanya selama
janin ada dalam kandungan. Kontak psikis secara langsung antara orang tua,
terutama ibu dengan si janinlah yang sebenarnya disebut dengan pendidikan pada
masa kehamilan.[16]
BAB IV Penutup
Bahwa; “pendidikan islam adalah pendidikan manusia
seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya.
Karena itu, pendidikan islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan
damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan
segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.
Sementra itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan
islam sebagai suatu “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan,
memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai islam yang diselaraskan dengan fungsi
manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat”.
Kesimpulan
Untuk memperjelas dalam memahami yang berjudul Pendidikan Pranatal Dalam Perspektif Islam dan Implikasinya Terhadap Pembentukan Kepribadian Anak, maka perlu kiranya dijelaskan arti dan beberapa istilah pada judul sebagai berikut :
1. Pendidkkan
pendidikan menurut ta’lim, danta’d ib. Tarbiyah sendiri mengandung empat (4)
unsur yaitu Pertama, memelihara pertumbuhan. Kedua, mengembangkan
potensi dan kelengkapan manusia yang beraneka ragam (termasuk akal-budinya). Ketiga,
mengarahkan fitra dan potensi manusia menuju kesempurnaannya. Keempat,
melaksanakan secara bertahap dengan irama perkembangan anak. Sementara ta’lim dalam
pengertian lain, lebih bersifat pemberian atau penyampaian pengertian,
pengetahuan, dan ketrampilan. Adapun arti ta’dib lebih tertuju
pada penyempurnaan akhlaq (budi pekerti)[17]
2. Prenatal
Prenatal, secara etimologi berasal dari kata pre yang
berarti sebelum dannatal berarti lahir, jadi berarti sebelum
melahirkan atau keadaan sebelum kelahiran (Echols dan Shadily, 1989 : 444).
Apabila dihubungkan dengan kata pendidikan, maka pendidikan prenatal berarti
pendidikan anak dalam kandungan, agar anak terdidik oleh orang tuanya sejak
dalam kandungan.[18]
3. Islam
Islam secara semantik, berasal dari kata salima,
artinya menyerah, yaitu menyerah kepada Allah semata. Islam berarti salam;
keselamatan, penyerahan atau albararah, kebebasan, suci dan kebahagiaan
atau kesejahteraan.[19]
DAFTAR PUSTAKA
1.
Rasulullah SAW bersabda ( Q.S. An Nahl :114,)
2.
Prof. Dr. Zakiah
Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, 1970,
hlm. 59
3.
Prof, DR. Baihaqi, AK., Mendidik Anak Sejak
Dalam Kandungan, Darul Ulum Press, Jakarta, 2000, hlm. 169-182
4. F.
Rene. Van de Carr, Op. Cit hlm. 91-151
5. Ubes Nur Islam, Mendidik Anak dalam
Kandungan, (Jakarta: Gema Insani, 2004),
6.
Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2002
7.
8. Departemen Agama Republik
Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Penerbit
Al-Hidayah, 2002), hlm. 13.
9. Muhammad bin Abu Bakar al-Jauziyah, Tuhfatul Maudūd
bi Ahkāmil Maulūd, (Libanon: Darr al-Kitab al-Araby, 2001), hlm. 221.
10. Umar Ahmad Umar, Manhaj at-Tarbiyah fi al-Quran wa
as-Sunnah, (Damsyiq: Dar al-Ma’rifah, 1996), hlm. 263.
11. Mohammad
Natsir, Kapita Selekta, (Bandung: Gravenhage, 1954), hlm. 87.
12. Qur’an dan Hadis
[3] Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, (Surabaya: Penerbit Al-Hidayah, 2002), hlm. 13
[5] Muhammad bin Abu Bakar al-Jauziyah, Tuhfatul Maudūd bi Ahkāmil Maulūd, (Libanon: Darr al-Kitab al-Araby, 2001), hlm. 221. Nabi
Muhammad dalam sabdanya ( HR. Imam Muslim )
[6] Umar Ahmad Umar, Manhaj at-Tarbiyah fi al-Quran wa
as-Sunnah, (Damsyiq: Dar al-Ma’rifah, 1996), hlm. 263
[8] M. Yusuf
al-Qardhawi Pendidikan Islam: Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu,
2002), hlm. 5
[11] Ubes Nur Islam, Mendidik Anak dalam
Kandungan, (Jakarta: Gema Insani, 2004),
[14] Prof,
DR. Baihaqi, AK., Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan, Darul Ulum
Press, Jakarta, 2000, hlm. 169-182
[17] Ahmadi, 2001 :hlm 14-15