» » » » Pendididkan Pranatal Menurut Islam

Pendididkan Pranatal Menurut Islam

KATA PENGANTAR
           Pendidikan pra natal konsepsi ini adalah salah satu upaya persiapan pendidikan yang dimulai ketika seseorang memilih pasangan hidupnya sampai pada saat setelah terjadinya pembuahan dalam rahim sang ibu. Dalam kaitannya dengan hal ini, Islam telah mengajarkan hal-hal berikut : Dalam memilih pasangan hidup, Islam mengajarkan agar mengutamakan pengetahuan agamanya yang sama-sama beragama Islam, dan juga memiliki peran dan tingkah laku yang baik. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya : “Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena kekayaannya, kecantikannya, keturunannya, dan karena agamanya, kamu pasti akan hidup bahagia.”[1]

            Berdasarkan hadits ini, sangatlah jelas bagaimana kita harus memilih calon pasangan hidup. Agama dan akhlak merupakan dua hal yang paling utama. Setelah kedua hal ini barulah faktor-fakto r lain dipertimbangkan.Mencari rizki dan makanan yang halal. Seperti disebutkan dalam Q.S. An Nahl :114, yang  Artinya : “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”[2]

    Apa yang kita konsumsi sehari-hari itu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keturunan, baik itu fisik maupun mental. Selain itu, menurut disiplin ilmu biologi, makanan yang baik dan bergizi itu memiliki pengaruh yang besra terhadap pematangan ovum dan spermatozoa yang kemudian akan menjadi janin yang sehat dan kuat.

BAB I Pendahuluan
Pendidikan dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari asal terciptanya manusia itu sendiri. Kata pendidikan dalam bahasa Arabnya adalah tarbiyah (mengembangkan, menumbuhkan, menyuburkan) berakar satu kata dengan "Rabb" (Tuhan). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah sebuah nilai-nilai luhur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Terpisahnya pendidikan dan terpilah-pilahnya bagian-bagiannya dalam kehidupan manusia berarti terjadi pula disintegrasi dalam kehidupan manusia yang konsekwensinya melahirkan ketidak-harmonisan dalam kehidupannya.
Manusia adalah pelaksana dari pendidikan. Dalam al-Quran, manusia sebagai makhluk Allah yang mempunyai dua tugas utama yaitu sebagai Khalifah fi al-Ardh dan sebagai hamba (‘abid) yang diperintahkan untuk melaksanakan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya dengan bekal dasar yaitu penglihatan, pendengaran, potensi akal (af-idah) dan dengan ketiga indera tersebut merupakan sarana dasar manusia dalam menerima pendidikan. walaupun pada awalnya manusia dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apapun.Sebagaimana dalam al-Quran:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. an-Nahl: 78).[3]
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Tuhfatul Maudūd bi Ahkāmil Maulūd mengatakan: Bahwa orang yang berpendapat tentang janin dalam kandungan ibu tidak bisa melihat dan tidak mendengar suara itu tidak benar dan tidak ada dalilnya. Menurut dia, ayat itu menunjukkan bahwa media penglihatan, pendengaran dan akal itu sudah diciptakan sejak dalam kandungan beserta kekuatan dasarnya. Dan tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu tanpa fungsi, namun fungsi itu masih bersifat pasif dan akan berfungsi aktif setelah janin itu dilahirkan dari rahim ibunya.[4]

Dengan adanya fungsi itu, seharusnya orang tua -khususnya ibu- selalu melakukan stimulus-stimulus dengan memperlakukan janin dengan baik, perlakuan yang baik itu diantaranya memberikan pelayanan yang baik dan tepat terhadap anaknya yang masih dalam kandungan, tidak melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang menyebabkan dampak negatif baik fisik maupun psikis. Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad dalam sabdanya,
الشقي من شقى في بطن أمه (رواه مسلم عن عبدالله ابن مسعود)
Anak yang celaka adalah anak yang telah mendapatkan kesempitan di masa dalam perut ibunya (HR. Imam Muslim).[5]
Dalam Islam bukan hanya pada masa kandungan yang harus diperhatikan, tapi mulai sejak memilih pasangan, dianjurkan memilih yang baik dan utama. Sebagaimana perintah Nabi Muhammad dalam sabdanya:
تخيروا لنطفكم، فإن العرق دساس (رواه ابن ماجه عن عائشة)
“Memilihlah kalian semua untuk mani kalian (anak/keturunan) karena sesungguhnya iriq adalah dassas”, (HR. Ibnu Majah dari ‘Aisyah).[6]
Dalam kamus bahasa Arab al-Munjid, kata “al-irqu dassasun”,artinya sesungguhnya akhlak orang tua berpindah kepada anak-anaknya. Hadits ini menjelaskan bahwa anjuran untuk mencari lahan yang subur untuk menanam benih (sperma) sehingga anak-anaknya tidak mewarisi sifat tercela.

Mendidik atau "rabba" dalam bahasa Arab bukan berarti "mengganti" (tabdiil) dan bukan pula berarti "merubah" (taghyiir). Melainkan menumbuhkan, mengembangkan dan menyuburkan, atau lebih tepat "mengkondisikan" sifat-sifat dasar (fithrah) seorang anak yang ada sejak awal penciptaannya agar dapat tumbuh subur dan berkembang dengan baik. Jika tidak, maka fithrah yang ada dalam diri seseorang akan terkontaminasi dengan hal-hal negatif dalam kehidupan itu sendiri.
Hal negatif dalam kehidupan inilah yang diistilahkan oleh hadits Nabi dengan "tahwiid" (mengyahudikan)"tanshiir" (menasranikan) dan "tamjiis" (memajusikan).
Sebagaimana Hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah dalam kitab Shohih Muslim, yaitu:
ما مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ
وَيُمَجِّسَانِهِ... الحديث
Tidak seorangpun dilahirkan kecuali dalam keadaan suci(memilki sifat-sifat dasar) kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nashrani dan majusi.(al-Hadits)
Di samping itu, pendidikan merupakan suatu tujuan dan proses menjaga eksistensi fitrah manusia. Secara lebih filosofis Muhammad Natsir dalam tulisan “Ideologi Pendidikan Islam” menyatakan; “yang dinamakan pendidikan, ialah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”.[7]
Pendidikan sering dikatakan sebagai seni pembentukan masa depan. Ini tidak hanya terkait dengan manusia seperti apa yang diharapkan di masa depan, tetapi juga dengan proses seperti apa yang akan diberlakukan sejak awal keberadaannya mulai dari kandungan. Baik dalam konteks peserta didik maupun proses, oleh karenanya pendidikan islam[5] [8]perlu memperhatikan realitas sekarang untuk menyusun format langkah-langkah yang akan dilakukan.
Untuk merealisasikan tujuan pendidikan islam sebagai usaha membentuk dan menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang berakhlak mulia dan bertaqwa, harus di mulai sejak dini, saat manusia itu sendiri masih dalam kandungan. Karena saat itulah watak seorang anak dibentuk melalui stimulus-stimulus edukatif. Pada hakikatnya, anak-anak sebagai generasi unggul tidak akan berkembang dengan sendirinya. Mereka memerlukan lingkungan subur yang sengaja diciptakan untuk itu, yang memungkinkan potensi mereka tumbuh dengan optimal. Orang tua memegang peranan penting menciptakan kondisi lingkungan tersebut guna memotivasi anak agar dapat lebih siap dalam menghadapi berbagai tantangan di era globalisasi.
Menurut penelitian Dr. Craig dari University of Alabama menunjukkan hasil bahwa program stimulasi dini meningkatkan nilai tes kecerdasan dalam pelajaran utama pada semua anak yang diteliti masa pra lahir hingga usia 15 tahun. Anak-anak tersebut mencapai kecerdasan 15 persen hingga 30 persen lebih tinggi. Selain itu, menurut F. Rene Van de Carr, dkk, bahwa The Prenatal Enrichment diHua Chiew General Hospital di Bangkok Thailand yang dipimpin Dr. C. Panthura-amphorn, telah melakukan penelitian bahwa bayi yang diberi stimulasi pralahir cepat mahir bicara, menirukan suara, menyebut kata pertama, tersenyum secara spontan, lebih tanggap, dan juga mengembangkan pola sosial lebih baik saat ia dewasa.[9]
Dalam hal ini, Imam Ali bin Abi Tholib berrkata kepada puteranya yaitu al-Hasan. “hati anak bagaikan lahan kosong. Apa yang ditanam di atasnya akan diterima. Maka tanamlah di dalamnya sopan santun sebelum hatimu menjadi keras dan pikiranmu menjadi rusak”. Selaras dengan teori tabularasa John Loke yang menyebutkan “bahwa seorang anak bagaikan kertas putih” dan juga merujuk pada sabda Nabi Muhammad di atas tentang semua anak yang akan lahir mengacu pada fitrahnya.[10] Dalam konteks pendidikan anak, peran orang tua sangatlah menentukan karena orang tua adalah “the fisth education for child”atau “awwalu tarbiyah fil manzil” dan yang sangat berperan dalam hal ini adalah ibu. Ayah dan ibu sebagai pihak yang bertanggung jawab harus berusaha keras menghiasi anaknya dengan sifat-sifat kemuliaan dan akhlak terpuji. Mulai sejak berada dalam kandungan, perasaan anak muncul dan tercipta secara pasif yang hanya bisa menerima sebelum akalnya berkembang.
Dalam lingkungan keluarga dewasa ini, pendidikan prenatal masih sering dianggap hanya sebagai bentuk tradisi yang turun temurun, menjaga anak dalam kandungan sekedar merupakan kewajiban orang tua untuk mempunyai anak yang sehat dan lahir dengan sempurna, tidak cacat dan tidak keguguran. Sehingga pola gerak, tindak dan pola makanan ibu saat mengandung lebih dijaga dan diperhatikan. Bahkan ada keluarga di masyarakat yang menganggap itu bukan hanya tradisi tapi juga mitos (sangat sedikit yang memahami bahwa hal itu ada dasarnya dalam agama), sehingga ada anggapan bagi keluarga ibu hamil itu, tidak boleh berkata kotor, tidak boleh menyakiti manusia dan hewan karena akan mempengaruhi kepada janin yang sedang dikandung.[11]
Di sisi lain, fenomena pendidikan saat ini, mengalami tantangan berat, dimana banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan, kenakalan remaja, kasus narkoba, pemerkosaan, “tawuran” antar sekolah, antar kampus, bahkan pembunuhan sering diliput oleh media cetak dan media informasi yang hasilnya kebanyakan dari mereka adalah golongan pelajar (peserta didik). Golongan yang selalu melakukan proses belajar, golongan yang masih didominasi oleh pembentukan karakter pertama kalinya yaitu masa anak-anak. Siapakah yang salah? Atau apakah yang salah?.
Sebenarnya permasalahan dalam pendidikan prenatal adalah bukan bagaimana mendidik anak dalam kandungan secara efektif, tapi bagaimana menjadi orang tua yang efektif. Orang tua harus berusaha melakukan stimulus dan menjaga sikapnya baik dalam ranah emosional dan spiritual bukan hanya sekedar tradisi dan mitos. Anak adalah refleksi dari orang tuanya, anak juga merupakan representasi dari keadaan suatu keluarga.

BAB II Pembahasan
      Pendidikan prenatal merupakan pendidikan sebelum masa melahirkan. Masa ini ditandai dengan tiga fase, yaitu fase pemilihan jodoh, pernikahan dan kehamilan.
1.      Fase Pemilihan Jodoh
         Fase ini merupakan fase persiapan bagi seseorang yang telah dewasa untuk menghadapi hidup baru, yaitu berkeluarga. Berkenaan dengan hal ini, syari’at Islam telah meletakkan kaidah dan hokum bagi masing-masing pelamar dan yang dilamar, yaitu syarat yang penting dalam pemilihan calon istri dan calon suami.
a.       Syarat pemilihan calon istri
1.      Memilih wanita karena agamanya/wanita shalehah
Hal ini berdasarkan Sabda Rasulullah SAW, yang artinya “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.”
2.      Wanita yang hidup di lingkungan yang baik.
3.      Wanita yang jauh keturunannya dan jangan memilih yang dekat.
4.      Wanita yang gadis dan subur (dapat melahirkan)
b.      Syarat pemilihan calon suami
        Tidak banyak hadits yang menyebutkan tentang pemilihan calon suami sebagaimana halnya memilih calon istri. Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Apabila kamu sekalian didatangi seseorang yang agama dan akhlaknya kamu ridhai, maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan menjadi fitnah dimuka bumi ini dan tersebarlah kerusakan .” (HR. Tirmidzi)
      Berdasarkan hadits tersebut, maka jelaslah bahwa hal yang paling penting dalam memilih calon suami adalah dari agama yang dianutnya dan akhlak yang dimilikinya.
2.      Fase Perkawinan atau Pernikahan
         Ada beberapa aspek yang dijelaskan oleh syari’at Islam yang berhubungan dengan anjuran pernikahan/perkawinan antara lain :
a.       Perkawinan merupakan Sunnah Rasul
b.      Perkawinan untuk ketentraman kasih sayang
c.       Perkawinan untuk mendapatkan keturunan
d.      Perkawinan untuk memelihara pandangan dan menjaga kemaluan dari kemaksiatan
         Setelah calon dipilih, diadakan peminangan dan selanjutnya dilaksanakan pernikahan dengan Walimatul al-Ursy nya. Yang menarik dari pernikahan dalam Islam adalah dibacakannya khutbah nikah sebelum ijab qabul.
         Dalam khutbah nikah, terkandung nilai-nilai pendidikan, antara lain :
1.      Peningkatan amal dan iman
2.      Pergaulan yang baik antara suami dengan istri
3.      Kerukunan dalam berumah tangga
4.      Memelihara sillaturrahim
5.      Mawas diri/berhati-hati dalam segala tindak dan perilaku
3.      Fase Kehamilan
               Salah satu tujuan rumah tangga adalah untuk mendapatkan seorang anak (keturunan). Karena itu, seorang istri berharap agar ia dapat melahirkan seorang anak. Untuk memiliki seorang anak dibutukhan proses selama sembilan bulan mengandung. Prof. DR. Zakiah Daradjat mengungkapkan bahwa:”Keadaan dan sikap orang tua ketika anak dalam kandungan mempunyai pengaruh terhadap pembinaan pribadi anak.[12] Oleh karena itu, Islam menganjurkan pada umatnya untuk memulai pendidikan anak sejak dalam kandungan dengan cara mendidik ibunya dan menciptakan suasana yang tenang dan tenteram dalam kehidupan keluarga.
Prof. DR. Baihaqi, AK., telah menyusun materi-materi pendidikan untuk anak pranatal dengan berlandaskan pada pendidikan Islam, sebagai berikut :
1.   Shalat fardlu lima waktu
2.   Shalat-shalat sunah
3.   Membaca Al-Qur’an
4.   Aqidah/tauhid
5.   Ilmu pengetahuan
6.   Akhlak mulia
7.   Do’a
8.   Lagu-lagu[13]
              F. Rene Van De Carr dan Marc Lehrer, juga telah menyusun program pendidikan pralahir secara umum, yang meliputi, latihan komunikasi pertama dengan bayi, detak jantung dan irama gendang, permainan bayi menendang, menentukan posisi bayi, daftar kata-kata utama, cerita, dan permainan musik.[14] Menurut Sabda Nabi, masa kehamilan memiliki beberapa tahapan, yaitu :
a.       Tahap Nuthfah
Pada tahap ini, calon anak masih dalam bentuk cairan sperma dan sel telur. Tahap ini berlangsung selama 40 hari.
b.      Tahap ‘Alaqah
Setelah berumur 80 hari, cairan tersebut berkembang bagaikan segumpal darah kental dan bergantung pada dinding rahim ibu.
c.       Tahap Mudghah
Setelah berumur 120 hari, segumpal darah tadi berkembang menjadi segumpal daging. Pada masa inilah, calon bayi telah siap menerima hembusan ruh dari Malaikat utusan Allah.
      Ada tiga faktor yang perlu dibicarakan berkaitan dengan proses pendidikan. Yaitu, pertama harus diyakini bahwa periode ini berawal dari adanya kehidupan. Hal ini dinyatakan dengan adanya perkembangan yang berawal dari nuthfah sampai menjadi mudghah, yang kemudian menjadi seorang bayi.
      Kedua, setelah berbentuk daging (mudghah), Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya. Tamapaknya, ruh inilah yang menjadi tahap awal bergeraknya kehidupan psikis manusia.
      Disisi lain, perkembanagan psikis manusia juga dipengaruhi oleh kegembiraan ataupun penderitaan yang dialami oleh sang ibu. Kebahagiaan, kelincahan ataupun kesedihan, kemurungan yang ditunjukkan oleh sanh ibu ketika mengandung akan tercermin kepada tingkah laku bayi yang dilahirkan.
      Ketiga, aspek yang paling penting adalah aspek agama. Naluri agama sebenarnya sudah ada pada setiap individu jauh sebelum kelahirannya didunia nyata.
      Dalam fase kehamilan ini, ada beberapa kewajiban seorang wanita yang sedang mengandung. Yaitu,
a)               Memakan makanan yang bergizi
b)               Menghindari benturan-benturan
c)               Menjauhi minuman keras, merokok, dan berbagai jenis makanan yang diharamkan Allah SWT
d)              Menjaga rahim dengan baik
      Proses pendidikan konsepsi ini dilaksanakan secara tidak langsung. Yaitu sebagai berikut :
1.      Seorang ibu yang telah hamil harus mendo’akan anaknya
2.      Ibu harus selalu menjaga dirinya agar tetap memakan makanan dan minuman yang halal
3.      Ikhlas mendidik anak
 4.      Memenuhi kebutuhan istri, Menurut Baihaqi A.K ada beberapa kebutuhan istri yang harus dipenuhi. Misalnya, kebutuhan untuk diperhatikan, kasih sayang, makanan ekstra, mengabulkan beberapa kemauan yang aneh, ketenangan, pengharapan, perawatan, dan keindahan.[15]
5.      Taqarrub kepada Allah melalui ibadah wajib dan sunah
6.      Kedua orang tua berakhlak mulia. Akhlak mulia yang harus menjadi hiasan kedua orang tua antara lain, kasih sayang, sopa, lembut, pemaaf dan rukun.
       Menurut Zakiah Daradjad, proses pendidikan akan lebih berpengaruh kepada anak apabila diamalkan langsung oleh orang tuanya selama janin ada dalam kandungan. Kontak psikis secara langsung antara orang tua, terutama ibu dengan si janinlah yang sebenarnya disebut dengan pendidikan pada masa kehamilan.[16]

BAB  IV  Penutup
Bahwa; “pendidikan islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.

 Sementra itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan islam sebagai suatu “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat”.

Kesimpulan

           Untuk memperjelas dalam memahami yang berjudul Pendidikan Pranatal Dalam Perspektif Islam dan Implikasinya Terhadap Pembentukan Kepribadian Anak, maka perlu kiranya dijelaskan arti dan beberapa istilah pada judul sebagai berikut :
1. Pendidkkan
pendidikan menurut ta’lim, danta’d   ibTarbiyah sendiri mengandung empat (4) unsur yaitu Pertama, memelihara pertumbuhan. Kedua, mengembangkan potensi dan kelengkapan manusia yang beraneka ragam (termasuk akal-budinya). Ketiga, mengarahkan fitra dan potensi manusia menuju kesempurnaannya. Keempat, melaksanakan secara bertahap dengan irama perkembangan anak. Sementara ta’lim dalam pengertian lain, lebih bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan ketrampilan. Adapun arti ta’dib lebih tertuju pada penyempurnaan akhlaq (budi pekerti)[17]
2. Prenatal
Prenatal, secara etimologi berasal dari kata pre yang berarti sebelum dannatal berarti lahir, jadi berarti sebelum melahirkan atau keadaan sebelum kelahiran (Echols dan Shadily, 1989 : 444). Apabila dihubungkan dengan kata pendidikan, maka pendidikan prenatal berarti pendidikan anak dalam kandungan, agar anak terdidik oleh orang tuanya sejak dalam kandungan.[18]
3. Islam
Islam secara semantik, berasal dari kata salima, artinya menyerah, yaitu menyerah kepada Allah semata. Islam berarti salam; keselamatan, penyerahan atau albararah, kebebasan, suci dan kebahagiaan atau kesejahteraan.[19]

DAFTAR PUSTAKA

1.     Rasulullah SAW bersabda ( Q.S. An Nahl :114,)
2.      Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, 1970, hlm. 59
3.     Prof, DR. Baihaqi, AK., Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan, Darul Ulum Press, Jakarta, 2000, hlm. 169-182
4.     F. Rene. Van de Carr, Op. Cit hlm. 91-151
5.     Ubes Nur IslamMendidik Anak dalam Kandungan, (Jakarta: Gema Insani, 2004),
6.     Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2002
7.      
8.     Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Penerbit Al-Hidayah, 2002), hlm. 13.
9.     Muhammad bin Abu Bakar al-JauziyahTuhfatul Maudūd bi Ahkāmil Maulūd(Libanon: Darr al-Kitab al-Araby, 2001), hlm. 221.

10.  Umar Ahmad Umar, Manhaj at-Tarbiyah fi al-Quran wa as-Sunnah, (Damsyiq: Dar al-Ma’rifah, 1996), hlm. 263.
11.  Mohammad Natsir, Kapita Selekta, (Bandung: Gravenhage, 1954), hlm. 87.
12.  Qur’an dan Hadis


[1]  Rasulullah SAW bersabda

[2] Q.S. An Nahl :114,

[3]  Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Penerbit Al-Hidayah, 2002), hlm. 13

[4]  Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah  QS. an-Nahl: 78
[5]  Muhammad bin Abu Bakar al-JauziyahTuhfatul Maudūd bi Ahkāmil Maulūd(Libanon: Darr al-Kitab al-Araby, 2001), hlm. 221. Nabi Muhammad dalam sabdanya ( HR. Imam Muslim )
[6] Umar Ahmad Umar, Manhaj at-Tarbiyah fi al-Quran wa as-Sunnah, (Damsyiq: Dar al-Ma’rifah, 1996), hlm. 263
[7]  Hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah dalam kitab Shohih Muslim (al-Hadits )

[8]  M. Yusuf al-Qardhawi Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 5
[9] Ubes Nur IslamMendidik Anak dalam Kandungan, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 03.
[10]  Teori Tabularasa John Loke
[11] Ubes Nur IslamMendidik Anak dalam Kandungan, (Jakarta: Gema Insani, 2004),
[12]  Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, 1970, hlm. 59

[13]  F. Rene. Van de Carr, Op. Cit hlm. 91-151

[14] Prof, DR. Baihaqi, AK., Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan, Darul Ulum Press, Jakarta, 2000, hlm. 169-182

[15]   Prof, DR. Baihaqi, AK., Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan, Darul Ulum Press, Jakarta, 2000

[16]  Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang
[17]  Ahmadi, 2001 :hlm  14-15

[18]  Echols dan Shadily, 1989 : hlm 444

[19]  Asy’ari, 2002 : hlm 5)

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya