. Mulla
Shadra
1. Biografi
Mulla Sadra
Shadr al-Din Muhammad ibn
Ibrahim ibn Yahya Qawami al-Syirazi atau yang lebih dikenal dengan Mulla
Shadra, dilahirkan di Syiraz pada tahun 1572 M. Pendidikan dasarnya dijalani
dikotanya dalam bidang al-Qur'an, Hadis, Bahasa Arab dan Bahasa Persia kemudian
dilanjutkan di Isfahan sebuah kota pusat studi yang penting pada masa itu. Di
sana, Mulla Shadra berguru kepada Baha' al-Din al-Amili (w. 1622 M), Mir Damad
(w. 1631) dan Mir Abu Al-Qasim Findereski (w. 1640).
Konon, Mulla Shadra pernah
melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak tujuh kali, dan wafat di
Basrah sekembalinya dari menunaikan ibadah haji yang ketujuh pada 1641.
2. Karya-Karya
Mulla Sadra
Sumbangan filsafat Mulla
Shadra sangatlah banyak diantaranya; Al- Suhrawadi, Hikmah Al-Isyraq,
Al-Abhari, Al-Hidayah fi Al-Hikmah, dan Ibn sina, Al-Syifa bersanding dengan
risalah-risalahnya tentang organization, Resurraction (Awal Penciptaan dan Hari
Akhir), Predicating Essence of Existence, dan beberapa makalah singkatnya dalam
tema-tema serupa. Namun, karya filsafatnya yang berpengaruh adalah Al-Masya'ir
(Keprihatinan), Kasr Asnam Al-Jahiliyah (Menghancurkan Arca-Arca Paganisme),
dan "Hikmah Transedental", yang lebih dikenal sebagai "Empat
Pengembaraan" (Al-Asfar Al-Arba'ah).
3. Filsafat
Mulla Sadra
Dalam bagian pendahuluan
kitab Al-Asfar, Mulla Shadra menyesalkan sikap berpaling masyarakat Muslim dari
studi filsafat. Padahal, prinsip-prinsip filsafat yang dipadukan dengan
kebenaran wahyu Nabi adalah cermin nilai kebenaran tertinggi.
Menurutnya, keharmonisan
itu menunjukkan kebenaaran tunggal yang dibawa
oleh Adam. Dari Adam, kebenaran ini diturunkan kepada Ibrahim,
kemudian para filosof Yunani, lalu para sufi, dan akhirnya, para filosof pada
umumnya. Orang-orang Yunani, tulisannya, semula menjadi penyembah binatang. Akan
tetapi, dalam perjalanannya, mereka mengambil filsafat dan teologi dari
Ibrahim.
Dalm konteks ini, Mulla
Shadra membedakan dua kategori filosof Yunani kuno. Kategori pertama dimulai
oleh Thales dan berakhir pada Socrates dan Plato. Dan kategori kedua dimulai
oleh Pythagoras yang menerima filsafat dari sulaiman dan para rahib
Mesir-seperti yang terungkap dari banyak catatan sejarah filsafat Arab. Di
antara "tiang-tiang filsafat", Mulla Shadra menyebut nama Empedocles,
Pythagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles, sedangkan mengenai hubungan
Plotinus-yang dijulukinya dengan guru Yunani dan acp disebutnya dengan rasa
hormat dengan Plato dan Aristoteles, Mulla Shadra, seperti kebanyakan filosof
Muslim lainnya, samasekali berskap diam. Semua "tiang filsafat" Yunani
yang disebutkan di atas, menurut Mulla Shadra, menerima "cahaya
Hikmah" dari "mercusuar kenabian".
Inilah sebabnya, para
filosof itu secara keseluruhan bersesuaian dengan para nabi dalam
persoalan-persoalan menyangkut keesaan Tuhan, penciptaan alam, dan hari
kebangkitan. Terlepas dari pandangannya tentang sejarah filsafat ini, sosok
metodologi
Mulla Shadra yang mesti diperhatikan adalah penerapan
kategori-kategori filsafat dan tasawuf pada ajaran-ajaran Syi'ah. Dia
berpendapat bahwa tahapan kenabian dalam sejarah dunia berakhir dengan wafatnya
Nabi Muhammad Saw., "pamungkas para nabi". Tahapan selanjutnya ialah
imamah (wilayah/wishayah) yang terdiri dari dua belas imam Syi'ah. Imamah akan
terus berlanjut hingga kembalinya imam kedua belas yang saat ini masih gaib
menurut doktrin Syi'ah.
Jiwa manusia berbeda dengan
semua entitas makhluk lantaran ia merupakan sebuah perpaduan cahaya dan
kegelapan. Karena itulah ada keterkaitan antara alam akal, atau "alam
perintah", demikian para sufi menyebutnya, dan alam materiil, atau
"alam ciptaan". Yang terakhir dimulai dengan garis lintas
universal-yang memisahkan "alam akal" atau alam jiwa dengan alam materiil
atau alam entitas-entitas indriawi.
Diagram berikut akan
melukiskan hierarki atau "mata rantai wujud" dalam konsep
Mulla Shadra yang pada dasarnya mirip konsep Neoplatinos:
Cahaya Tertinggi (Wajib Al Wujud) (Alam Materiil)
Dari diagram ini dapat kita
lihat bagaimana Mulla Shadra seperti halnya para filosof Isyraqi lain
melanjutkan tradisi Ibn Sina dan neo Platonisme dengan variasivariasi yang
lebih bersifat verbal atau semantic.
Pandangan yang sempurna
yang diperkaya oleh Mulla Shadra dengan kutipan ekstensif dari Al-Qur'an,
Hadits, dan ucapan-ucapan Imam Syi'ah, memiliki tujuan melindungi keyakinan
tentang kebangkitan kembali. Melalui penyulingan subtil ini, status raga yang
tadinya kabur itu kini diasumsikan memiliki bentuk etereal. Dan dalam kondisi
seperti ini, raga dinyatakan identik dengan jiwa. Etereal berasal dari bahasa
Inggris ethereal, yaitu unsur sangat halus yang memenuhi lapisan
teratas luar angkasa.